50. Now What?

269 52 8
                                    

Sekarang apa?

Ketiga anaknya sudah menikah, bahkan yang paling badung pun sudah menikah.

Sarah duduk di teras belakang chateau yang terasa sangat hampa. Langit pun tidak menyampaikan suara apa-apa, hanya menunjukan langit ungu oranye. Dia mengingat-ngingat kembali semua yang terjadi di teras belakang chateau mewah ini.

Padahal baru kemarin rasanya ia dinikahi oleh pria aneh.

Lalu lahirlah Ray, Ace, Alice.

Semua berlalu sangat cepat.

Suara tawa anak-anak berlarian, suara piring pecah, suara Ray marah, itu tidak terdengar lagi. Sekarang itu semua hanya ilusi dan memori yang setiap ibu akan ingat.

Diujung mata Sarah, terlihat pohon yang selalu berdiri kokoh. Dan dulu, anak-anaknya suka bermain di bawah pohon itu sambil tertawa riang.

Tanpa disadari sudut bibir Sarah tersenyum, ia tidak bisa menentukan perasaannya sekarang ini,

Senang karena dia memiliki anak-anak yang luar biasa.
Sedih karena mereka sudah berpisah.
Marah karena waktu berlalu begitu cepat.
Kecewa karena dia merasa belom memberikan terbaik ke anaknya.
Namun bangga karena dia sudah berhasil membesarkan anak-anaknya.

Memang pekerjaan yang paling mulia adalah menjadi ibu.

Iya, ibu dari anak-anak gesrek bin biadab.

Saat Sarah menerawang jauh, tiba-tiba tangan mendarat di bahunya.

Rupanya Zac, suaminya.

"Lho, ga kerja?", tanya Sarah. Zac menyerahkan secangkir teh, kemudian duduk bersila di sebelahnya.

"Cuti", jawab Zac singkat sambil menyesap teh Earl Grey favoritnya. Melihat ini, Sarah masuk ke dalam sebentar, kemudian keluar dengan cookies coklat di piring.

Setelah meletakannya disebelah teh, mereka mulai menikmati cemilan kecil ini.

"Jadi, sekarang apa?", tanya Zac menggigit cookie coklat hazelnut.

Sarah mengangkat bahu, tanpa menoleh ia menjawab, "Entahlah..."

"Mau adopsi anak?", tanya Zac lagi. Namun Sarah tau sebenernya Zac tidak suka anak-anak selain anaknya sendiri, dia mengatakan itu hanya untuk menghibur Sarah.

Mendengar itu, Sarah segera menggeleng sambil mendenguskan tawa, "Aku tau kamu gasuka anak-anak, gausah. Lagian kita juga udah tua", jawab Sarah tersenyum tipis.

Akhirnya mereka berdua memandangi halaman belakang lagi, bernostalgia dalam keheningan.

"Makasih udah ngelahirin anak-anak, dan ngegedein mereka jadi orang luar biasa", ucap Zac, tersenyum terhadap waktu-waktu yang berlalu. Memori yang tidak akan dilupakan.

Sarah antara ingin tertawa atau marah.

"Yah...aku cuma berusaha sebisa aku. Aku gamau anak-anak kaya aku. Didiemin, dimarahin, ga pernah ditanyain, dulu...keluarga terasa asing, malah rasanya aku lebih tau kamu daripada mereka. Dulu masalahku adalah orang tua yang mengabaikan", ungkap Sarah menarik lututnya.

Zac manggut-manggut, "Dan...aku gamau anak-anak tumbuh dalam rasa takut, aku pengen mereka bebas tapi masih di sayang, dan...tau kalo mereka aman. Yah...orang tua yang abusif"

Hening lagi, pikiran mereka tentang masa lalu jatuh ke satu hal.

"Iya, biar ga kaya kita. Malah jadi lebih setan", ucap mereka kompak, terdengar kecewa.

Niat baik biar ga kacau, malah makin kacau. Tapi tidak apa, anak-anak mereka tumbuh sesuai keinginan mereka.

"Tapi sekarang apa, Zac?", tanya Sarah mengulang pertanyaan yang tadi Zac lontarkan.

WE ARE TWINS : ACE & ALICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang