Chapter Five.

1.6K 227 17
                                    

Irene melenguh panjang dengan matanya yang terpejam rapat. Napasnya sangat pendek, sekujur tubuh rasanya begitu sangat panas. Ketika Irene membuka matanya, dia langsung merasa sedikit lega dan jijik disaat yang bersamaan. Jijik akan merasakan cairan putih yang ada di sekitar dagu dan lehernya.

Pria yang ia duduki saat ini masih menggeram penuh kenikmatan. Setelah berdiam diri untuk beberapa saat, Irene akhirnya bangun dan meraih sekotak tisu di dekatnya. Digunakan satu lembar untuk mengusap dagu dan lehernya, dan sebaik mungkin ia menyembunyikan rasa jijiknya.

"Oh my god, kamu benar-benar sexy." Ungkap pria itu. "Jika saja waktuku masih banyak, aku penasaran permainan macam apa yang sudah kamu siapkan untukku."

Irene tidak ingin merespon, namun mengingat kembali jika ia harus melayani pelanggan dengan baik. "Seperti yang diketahui peraturannya, kamu hanya bisa bermain satu jam dengan satu orang."

"Yeah, I get it. Kamu tidak harus mengingatkanku." Katanya, dia bergeser ke pinggir lalu berdiri di samping kasur. Merapihkan celana dan memakai kembali kaos hitamnya. Lalu ia menaruh beberapa lembar dollar di atas kasur. "Bagaimanapun, aku merasa puas. Anggap ini bonus dariku."

Irene menatap lembaran dollar di dekatnya. Setelah mendengar suara pintu tertutup, menandakan pria tadi sudah pergi dari ruangan. Akhirnya Irene bisa menghela napas lega. Irene memejamkan matanya, bersyukur waktu berjalan cepat agar ia bisa kembali ke rumah.

Entah sampai kapan ia harus terus-terusan seperti ini. Pekerjaan ini tentu menyiksa Irene lebih dalam lagi.

Tanpa sadar Irene menahan semuanya, satu pukulan, dua pukulan, dan pukulan ketiga ia luapkan pada bantal di depannya. Irene tidak bisa berhenti memukul bantal itu, terus memukul sebab hanya ini yang bisa ia lakukan.

Tanpa sadar air mata Irene mengalir. Hal itu membuat Irene semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya dia membungkuk dalam duduk, dan menangis di bantal itu. Irene terisak sangat keras, sama sekali tidak masalah sebab ruangan ini kedap suara.

Irene sangat tidak ingin melakukan ini. Dia juga tidak ingin tubuhnya digunakan hanya untuk kepuasan seksual. Dia juga ingin bisa bekerja dengan cara yang baik, bukannya digunakan seperti boneka.

Disakitin. Dihina. Dipermainkan. Irene tidak menginginkan hal itu.

Irene berteriak dalam bantalnya, kedua tangan memukul kasur yang ia duduki. Meski Irene sudah berusaha, ia sama sekali tidak berhasil untuk berkembang. Yang lebih menyakitkannya lagi adalah ia tahu kalau bukan seperti ini, ia tidak punya apa-apa lagi.

Pekerjaan apa yang bisa Irene ambil tanpa memiliki pengalaman bekerja di dunia manapun? Hanya bermodal visual tingkat dewa, tidak heran jika ia bekerja seperti ini.

Merasa puas dengan menangis, Irene segera mengusap wajah berantakannya dengan banyak lembar tisu. Setelah memakai kembali pakaiannya, Irene mengambil dollar di atas kasur kemudian pergi keluar dari ruangan.

Setelah mengusap wajahnya di westafel, Irene langsung pergi ke arah bar untuk memastikan apakah masih ada staff saat ini. Mengejutkan, ternyata masih ada beberapa yang masih berjaga. Mungkin mereka kebagian shift malam.

Sebelum Irene pergi keluar untuk pulang, ia mendengar namanya dipanggil oleh salah satu staff di salah satu meja. Tanpa membuang waktu Irene langsung berjalan menghampiri orang itu.

"Hey, Irene. Kamu sudah ingin pulang?" tanyanya.

"Ya, bagianku hanya sampai jam 11 malam. Kenapa?" tanya Irene.

"Oh, tunggu sebentar," staff itu melesat ke arah bar dan mengeluarkan sebuah plastik berisikan box kardus kecil. "Ini untukmu."

Irene bingung. "Untukku?"

Criminal ─ Seulrene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang