bab 7 : black city

18 4 0
                                    

IBU kota selalu lebih baik. Kalimat itu mungkin tidak pernah salah. Berabad-abad lamanya manusia hidup. Akan ada satu kota dimana semua hal didalamnya terasa lebih baik ketimbang kota lain. Bangunan, arsitektur, fasilitas dan hal-hal yang dapat menopang mereka.

Terberkatilah Soullet karena semua limpah kebahagiaan itu ada pada mereka. Distrik yang menjanjikan masa depan, rasa kebahagiaan yang utuh, juga harapan yang tidak patah. Orang-orang Treemont mungkin menganggap itu hal bodoh. Sebab mereka tahu Soullet menyandingkan dirinya dengan kegelapan. Maka itu artinya kebahagiaan mereka adalah hal yang mustahil. Tapi distrik lain jelas menjadikan ini hadiah perjudian. Menguasai Soullet sama artinya dengan berhasil memenangkan Northy Vez. Tunggu saja sampai seseorang memasang taruhannya lebih dulu.

Angin sejuk memasuki satu ruangan bertirai hitam beludru. Menyusupi setiap jengkal perabot yang nyaris tiada gairah karena hanya menampakkan warna hitam. Tidak ada yang pernah memprotes satu kebijakan konyol ini. Hingga bertahun-tahun larut didalamnya. Warna kegelapan itu seolah sudah menjadi warna abadi juga kebanggaan seorang Soullet.

Suara sepatu bersol tebal terdengar menghentak ubin-ubin lantai di lorong penghubung. Rau Eauray tidak perlu membalikkan tubuhnya dari meja kerja. Ia tahu hanya dengan mendengar dan mencium aroma tubuh orang itu dari kejauhan.

"Ada apa, Taz?" Suara serak pria itu menghentikan laju jalan Taz Maley. Kaki tangan Rau yang sudah hampir satu dasawarsa ini mengabdi. Seketika ia pun membungkuk--memberikan penghormatan.

"Tahun ke 37 segera tiba, Tuan. Perekrutan anggota Eghost dijadwalkan dua minggu lagi."

"Itu kabar bagus." Rau membalikkan tubuhnya. "Lakukan apa yang harus dilakukan. Bukankah kau sudah terbiasa dengan tahun-tahun sebelumnya?"

"Memang benar. Tapi Nash sudah genap 17 tahun sekarang. Apakah dia yang akan menjadi perwakilan distrik kita?"

"Ah ya, anak itu. Akan aku bicarakan dengannya." Ada suara yang tertahan. Taz dapat merasakan itu. "Kuharap dia tidak seperti kakaknya. Atau paling tidak nyalinya untuk menentangku tidak seperti Var."

"Kalau begitu kami harap secepatnya, Tuan. Beberapa distrik sudah mulai mengajukan perwakilan mereka."

Rau memukul-mukul tongkatnya ke lantai. Seperti dugaannya, setelah menaikkan pendapatan dan memperbanyak akses juga fasilitas yang didapat anggota Eghost. Rau banyak mendengar bahwa posisi keamanan elite itu menjadi yang paling diincar dari semua distrik.

"Baiklah, tunggu keputusanku besok. Sampai itu dikeluarkan. Kuharap kau tidak memberikannya kepada anak-anak lain."

"Tentu saja, Tuan."

Mengenai Eghost, sekilas itu tidak lebih dari akademi kstaria biasa. Tempat dimana para pemberani menempa pedangnya sendiri. Pertarungan arena dan permainan senapan. Pertahanan kelas tinggi juga mental pantang mati. Eghost mengajarkan muridnya menjadi yang terbaik. Selalu dalam garda terdepan dalam menyangkut keutuhan negara.

"Menyendiri lagi." Rau datang dari arah gazebo saat melihat Nash dengan setelan hitam yang bermandikan keringat. Ditangan laki-laki itu sepasang kindjal terlihat bernodakan darah.

Nash menoleh sekilas namun nampak tidak peduli. Ia memilih melihat barisan pohon di Hutan Azazil seraya membayangkan arwah Anne yang mungkin saja tidak tenang sebab Nash belum bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan wanita itu. Anne sendirian di hutan sana. Terjebak dalam perjanjian roh yang dibuat Rau. Membayangkan itu, praktis lengan Nash terkepal.

"Ini sudah satu minggu. Apa bagusnya kau masih mengingatnya?"

"Aku tidak memintamu untuk ikut berduka."

"Tentu saja. Ibumu seorang pengkhianat. Penghasil putra seorang pelarian. Kutebak Var pasti sedang berada di Treemont atau Voneecot. Dan saat itu tiba, Var pasti kembali membawa pasukan dan menggulingkan pemerintahanku."

You Should See Me In The CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang