Bagian 7

6.5K 627 31
                                    

Kiki tidak tahu sejak kapan tepatnya perasaan itu muncul. Ingatannya pada malam saat kesepakatan itu dibuat masih terekam dengan jelas. Saat itu Kiki sama sekali tidak tertarik dengan Nela seperti layaknya ketertarikan seorang laki-laki kepada seorang gadis. Dia hanya tertarik dengan persetujuan Nela atas kesepakatan yang ditawarkannya.

Namun setelah malam itu, semuanya mulai mengalir dan berubah begitu saja. Dimulai dengan seringnya interaksi diantara mereka baik dengan bertatapan muka secara langsung ataupun tidak. Mengetahui kabar Nela kemudian menjadi sebuah keseharusan. Layaknya minum obat, tiga kali sehari dia akan mengirim pesan dan akan menghubungi jika tidak mendapat balasan.

Pergi kerumah gadis itu saat akhir pekan, setidaknya minimal sekali dalam dua minggu seakan mulai menjadi agenda rutin yang harus dijalaninya demi melihat raut wajah masam yang sering kali ditemuinya. Kiki merasa cemburu ketika Nela memberinya kabar bahwa gadis itu memiliki pacar. Dan kemudian betapa girangnya dia ketika tahu Nela sudah putus.

Karena itulah, Kiki selalu mencari cara agar kesepakatannya dengan Nela terus berlangsung. Hanya itu yang bisa membuat Kiki bisa mendekati Nela dengan mudah. Jarak tempat tinggal mereka saja sudah cukup menyulitkannya. Jika tidak memikirkan pekerjaannya yang sudah mantap dan kedua orang tuanya, mungkin Kiki bisa pindah dan mencari pekerjaan baru agar bisa dekat dengan Nela.

Tapi terkadang tingkah laku dan mulutnya tidak bisa berkompromi dengan baik. Sebab sering kali keduanya lah sebagai penyebab terbentangnya jarak diantara dirinya dan Nela. Padahal dia sudah mati-matian berusaha untuk mengurangi jarak yang membentang itu dengan cara yang elegan agar terlihat keren dan menarik perhatian.

Dan kejadian tadi pagi lah yang membuat jarak itu kembali melebar. Kiki seakan ingin mengutuk mulut lancangnya ini.

“Lo menyerangnya tanpa dia bisa membuat pertahanan. Wajar jika dia marah seperti itu.”

Kiki mengusap wajahnya frustasi. Kalimat yang diucapkannya tadi seakan kembali terngiang ditelinganya. “Bukankah itu tandanya Nela sudah sangat siap untuk jadi istriku, Pa, Ma?

Kiki bahkan mengatakan kalimat itu secara spontan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Dia memang bukan bermaksud untuk main-main. Lagi pula tidak mungkin dia mengatakan itu didepan kedua orang tuanya jika pada akhirnya dia hanya berniat mempermainkan anak gadis orang.

Kalau bukan kalimat tegas untuk mengalihkan pertanyaan Lidia keluar dari mulut Halim, Kiki tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi tadi pagi. “Tidak perlu menanyakan tentang hal itu, Ma. Kalau mereka sudah siap, kita juga akan jadi orang pertama yang akan diberi tahu. Ayo, habiskan sarapan.

Dan melihat respon Nela tadi, kaget dengan wajah yang memucat, mungkin saja Halim sudah bisa melihat ada yang tidak beres. Jika saja Kiki tetap dirumah, mungkin dirinya akan disidang oleh Papanya itu.

“Gue benar-benar bingung, Sa. Satu langkah gue maju, dua langkah dia mundur. Gue harus gimana lagi?” Kiki mengerang frustasi.

Raksa dan Vivian memang sudah mengetahui kesepakatan diantara Nela dan Kiki. Raksa sudah sejak awal menyadari ada yang aneh dengan Kiki. Sejak Kiki memberi tahu keluarganya bahwa dia dan Nela akan mencoba saling mengenal lebih jauh dalam hubungan pacaran. Bahkan ketika Kiki masih belum menyadari rasa cintanya kepada Nela, Raksa pula yang sudah menebaknya lebih dulu.

“Kalau lo begitu frustasi karena hubungan kalian tidak pernah maju, maka modal nekat saja, Ki,” ucap Raksa memberi saran.

“Modal nekat gimana?” tanya Kiki bingung.

Kedua laki-laki itu duduk diteras rumah. Keduanya baru kembali dari masjid setelah melaksanakan sholat zuhur berjamaah disana. Sepanjang jalan Kiki menceritakan apa yang dialaminya pagi tadi. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tidak masuk kerumah dulu dan menyelesaikan pembicaraan yang seakan belum memuaskan itu.

Perfect love Deal [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang