“Kenapa rencana kamu berubah? Tempat yang dua minggu lalu disurvei memangnya tidak sesuai? Katanya mau coba pasar di luar pulau?”
Kiki duduk berhadapan dengan Halim di dalam ruangannya yang ada di bengkel. Ada beberapa hal yang harus dibahas Kiki dengan Papanya itu mengingat Halim juga memiliki hak untuk bengkel ini. Sebelum Kiki akan mengambil keputusan atas apa yang sedang direncanakannya dengan Halim tentang rencana bengkel cabang kedua.
“Kiki udah coba lihat-lihat beberapa tempat di sana, Pa. Tapi belum ada lokasi yang sesuai. Tapi kalau kota ini, udah ada tempat yang cocok.”
Kiki berucap dengan nada yakin. Dia sudah mempertimbangkan beberapa hal sebelum menyampaikan rencananya kepada Halim. Papanya ini tentu saja tidak akan mau memberi persetujuan jika apa yang diajukan tidak jelas gambarannya ataupun tidak terlihat akan menguntungkan.
Halim mengernyitkan kening. “Di pusat kotanya?”
“Belum sampai di pusat kota, Pa. Tempat ini dulunya bekas minimarket. Lumayan luas lah tanahnya. Ada dua ruko satu lantai di sebelahnya yang juga dijual. Jadi kita bisa ambil tiga-tiganya kalau harga sesuai. Kira-kira luas tanahnya sedikit lebih besar dari cabang bengkel yang pertama.”
“Itu sudah masuk luas untuk tempat parkir bengkel juga?”
Kiki mengangguk. “Tempat parkir sekaligus halaman. Soalnya minimarket dan rukonya juga punya halaman, Pa. Itu termasuk hitungan tanah yang dijual juga.”
“Lumayan itu. Tinggal menyesuaikan harga. Tapi dari segi lainnya bagaimana? Supplier?”
“Kita bisa ajukan kerja sama dengan supplier yang sama untuk bengkel pusat, Pa. Walau sepertinya gak semuanya punya tempat cabang di sana juga. Tapi, kalau dikirim dari sini, mungkin biaya transportasinya bisa dihitung lah. Kiki bisa coba cari supplier baru juga. Mana yang mengurangi biaya, Kiki bisa coba lihat nanti. Bagaimana menurut Papa?”
Informasi yang diberikan Kiki masih terasa kurang. Karena itu Halim masih bertanya lagi. “Pasar dan persaingannya kira-kira gimana?”
“Pengguna mobil di sana sama banyaknya di sini karena sama-sama kota besar juga Pa. Dan ada peluang bagus lainnya. Supir Tante Soraya pernah curhat gara-gara bengkel mobil di sana jaraknya jauh. Kiki udah keliling untuk ngecek dan lihat-lihat. Jadi jarak dari pesaing dengan kita lumayan jauh lah.”
Halim tersenyum tipis. Kepalanya mengangguk-angguk. “Kamu mengajukan tempat ini bukan karena di sana ada Nela kan?”
Kiki terkekeh. “Kalau udah menikah pun, Nela kan ikut aku ke sini juga, Pa. Aku kan tempatnya di bengkel pusat.” Kiki berkata dengan penuh percaya diri. Dan dia memang harus percaya diri jika dia mau mendapatkan keinginannya bukan?
“Percaya diri sekali kamu, Ki. Seperti Nela mau nikah sama kamu saja,” tembak Halim tepat sasaran. “Papa tidak tahu apa yang terjadi dengan kamu dan Nela. Tapi pernikahan itu merupakan kesepakatan yang butuh persetujuan dua belah pihak. Kalau Nela tidak mau atau belum siap, jangan dipaksa. Jangan menyerangnya dihadapan orang tua seperti dulu. Yang ada dia kabur nanti.”
Perkataan Papanya memang benar. Buktinya Nela sempat kesal kepadanya saat itu. Sehingga Kiki mulai berhati-hati. Walau ketika berdua saja, mulut Kiki seakan tidak memiliki rem hingga kalimatnya melontar begitu saja.
“Jangan nakut-nakutin, Pa. Harusnya ngasih semangat dong. Biar usahanya semakin keras.”
“Kamu tidak diberi pun sudah pasti akan semangat, Ki.”
Kiki cengengesan sebelum mengubah topik pembicaraan. Masalah bengkel belum selesai. “Jadi bagaimana menurut Papa dengan rencana cabang keduanya? Apa Papa setuju kita bangun di kota ini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect love Deal [Tamat]
RomansaNela rasa sejak Mama nya mengetahui sahabat gadis itu bahagia dengan suami dan anak kembar, membuat Mama ingin Nela segera menikah. Sehingga dengan terpaksa Nela menerima kesepakatan yang diajukan oleh Kiki untuk menghindari dirinya dari segala hal...