Bagian 21

6.6K 590 28
                                    

Tangan Lidia terlipat di depan dada. Dia menghela nafas hingga berulang-ulang kali sehingga sudah tidak bisa dihitung dengan jari satu tangan lagi jumlahnya. Tatapannya tertuju kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya.

Jatuh di tangga bengkel, begitu alasan yang Lidia terima dari putranya. Pipi sebelah kiri yang sedikit membengkak, kening bagian kiri yang di beri perban, sudut bibir yang robek dan pergelangan tangan kiri yang terkilir. Mungkin menurut putranya itu, luka seperti itu adalah kombinasi sempurna yang menunjukkan betapa bodohnya dia ketika turun tangga sehingga Lidia bisa mempercayai alasannya.

Halim menatap putranya miris walau objek yang di tatapnya hanya menyengir, seakan tidak ada masalah apapun yang terjadi kepadanya. Keadaan ini jelas cukup mengejutkan keduanya. Karena ketika putra mereka pulang kerja, kondisi seperti ini lah yang mereka lihat. Walau untungnya tidak separah yang mereka duga.

“Cuma cidera tingkat satu, Ma. Katanya ligamen di pergelangan tangan hanya robek sedikit sehingga membengkak, memar dan sakit yang gak terlalu parah. YA ALLAH, MAMA!” teriak Kiki kesakitan. Lidia baru saja menekan bagian tangannya yang sakit dengan sengaja.

“Apa?” tanya Lidia dengan nada suara mengejek.

“Kenapa di tekan sih, Ma? Tega banget deh sama anak sendiri,” omel Kiki. Entah apa yang ada dipikiran Mamanya itu sehingga dengan tega memberi rasa sakit untuknya.

Lidia menatap Kiki dengan wajah datar. Tangannya bersidekap di depan dada. “Kamu bilang sakitnya gak terlalu parah.”

Kiki mengerucutkan bibirnya. “Kalau ditekan begitu jelas sakit banget dong, Ma. Sakitnya sampai membuat Kiki seperti ingin buang air besar. Masalahnya jika tangan begini, ceboknya pasti susah. Kenapa pula yang terkilir tangan kiri sih?”

“Biar Papa kamu yang bantu cebokin,” ujar Lidia sambil menunjuk suaminya melalui tatapan mata.

Halim yang awalnya hanya memperhatikan interaksi istri dan putranya melototkan mata. Dia yang tidak melakukan atau mengatakan apapun yang pada akhirnya terseret arus pembicaraan yang terdengar tidak ada gunanya. Kalau memang tidak bisa tangan kiri, apa gunanya tangan kanan?

“Ya Allah, Ma. Kenapa Mama gak nawarin diri sendiri sih?” tanya Kiki. Berniat menggoda Mamanya itu yang sejak tadi menampilkan raut wajah yang tidak enak untuk dilihat. “Dulu waktu Kiki kecil Mama yang cebokin.”

“Dulu iya. Tapi sekarang Mama tidak mau, Ki. Mama malas sama anak yang nyatanya bohongin orang tua.”

“Siapa yang bilang Kiki bohongin Mama yang cantiknya ngalahin gadis perawan berusia empat puluh tahun? Melihat Mama saja rasanya semua kejujuran keluar dari bibir Kiki.”

Keadaannya yang seperti ini sudah pasti mengejutkan Lidia. Kiki tahu itu. Mamanya ini memang tipe wanita heboh sehingga ada hal kecil yang terjadi, responnya selalu berlebihan. Karena itu lah Kiki memilih berbohong saja daripada masalah ini semakin diperpanjang.

Pergelangan tangannya yang terkilir bukan karena jatuh di tangga bengkel. Itu hanya alasan yang Kiki kira tepat untuk menjawab keresahan Mamanya. Kondisinya ini akibat pergulatan jilid dua antara dirinya dan Hendra. Laki-laki itu terlalu cemburu buta sehingga mengabaikan semua penjelasan yang dikatakan Kiki panjang lebar.

Harusnya Kiki menolak saja untuk mencoba menghubungi Lia dengan ponselnya ketika Hendra memintanya. Dia berpikiran baik tanpa menduga-duga bahwa Hendra ternyata mencoba untuk melihat seberapa jauh interaksinya dengan Lia.

Setelah tiga kali panggilan Hendra yang tidak diangkat Lia, perempuan itu malah mengangkat panggilan Kiki di percobaan pertama beberapa detik setelah panggilan Hendra diabaikan. Apalagi nada suaranya yang terdengar senang ketika menjawab panggilan.

Perfect love Deal [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang