Bagian 27

11.9K 750 73
                                    

Kiki memperhatikan pantulan dirinya yang berdiri di depan cermin. Tangannya tergerak untuk memastikan lipatan kerah bajunya sudah terlihat rapi. Celana hitam dan baju kemeja yang dikenakannya sudah membuat penampilannya bagus malam ini.

Tangannya tergerak mengambil sisir yang sudah dipindahkannya dari koper ke atas meja. Dengan terampil dia merapikan rambutnya yang sudah sedikit kering. Bibirnya bersenandung pelan.

Setelah memastikan rambutnya yang setengah kering sudah terlihat rapi, tangannya beralih mengambil parfum. Menyemprotnya sedikit sehingga menimbulkan sensasi wangi yang seakan menyebar ke sekitaran kamar. Awalnya Kiki berencana untuk mengganti aroma parfumnya ini. Tapi karena Nela bilang wangi parfumnya menyegarkan, maka Kiki tidak jadi menggantinya.

Perhatian Kiki teralihkan ketika mendengar ketukan di pintu kamar. Dia segera berjalan untuk membuka pintu. Menemukan Mamanya yang berdiri dengan wajah datar membuat Kiki cengengesan.

“Anak perawan yang dandan saja tidak lama seperti kamu, Ki,” keluh Lidia tanpa melangkah masuk ke dalam kamar hotel yang ditempati Kiki. “Kalau kamu masih lama, kita tunda saja jadi akhir pekan nanti.”

“Enggak, Ma,” seru Kiki dengan sedikit berteriak. Sambil berlarian Kiki mengambil dompet, ponsel, kunci kamar dan kunci mobilnya. “Sudah siap. Ayo berangkat, Ma. Jangan galak-galak dong. Cantiknya bisa hilang. Nanti ditinggal Papa loh?”

Kiki merangkul pundak Mamanya setelah menutup pintu kamar. Tatapannya kini tertuju kepada Papanya yang berdiri di depan pintu kamar sebelah. Dia memandangi Mama dan Papanya bergantian dan mendesah puas melihat penampilan rapi keduanya.

“Istri Papa kamu apakan, Ki? Jadi cemberut begitu?” tanya Halim.

Laki-laki itu tersenyum geli sambil menggeleng-geleng. Dia bukannya tidak tahu apa yang membuat istrinya seperti itu karena Lidia sudah mengomel tidak jelas sejak didepannya sebelum beralih ke putranya. Dia hanya berpura-pura tidak tahu saja.

Kiki dan Lidia mulai melangkah mendekati Halim. “Kesal karena Kiki kelamaan dandan, Pa. Padahal itu perlu biar terlihat keren di depan calon mertua.”

Lidia melirik putranya. “Tidak ada yang berubah, Ki. Kamu terlihat sama seperti sebelumnya.”

“Setidaknya penampilan Kiki lebih rapi dan juga wangi, Ma. Bahkan Mama suka nempel nih. Lihat sendiri kan?”

Lidia mendorong putranya sehingga Kiki berjarak beberapa langkah darinya. “Kamu yang merangkul Mama. Bukan Mama yang mendekati kamu.”

Kiki terkekeh. “Iya, Ma. Putra Mama deg-degan banget nih. Mengomel nya cukup ya, Ma. Nanti setelah sampai disini lagi baru dilanjutkan ya.”

Halim menepuk-nepuk pundak Kiki. Mencoba memberi kekuatan. “Papa mengerti perasaanmu. Jangan tegang, coba rileks saja.”

Kiki menghela nafas. “Padahal sudah beberapa kali bertemu Papa Nela. Tapi kenapa sekarang deg-degan banget, Pa?”

“Dan semakin parah ketika akad nikah nanti.”

Lidia memegang lengan suaminya. “Jangan begitu, Mas. Nanti Kiki mundur.” Nada suara Lidia terdengar mengejek. Matanya menatap Kiki menantang.

“Eits... Mama jangan salah. Gak akan ada kata mundur demi malam pertama.”

Tanpa menahan diri, Lidia memukul punggung putranya. “Pikiran kamu ternyata sudah lebih dulu ke arah sana ya?”

Kiki melepaskan rangkulannya. “Menikah Ma. Maksud Kiki menikah. Gak ada kata mundur demi bisa menikahi Nela.” Dia mengusap-ngusap punggungnya dengan tangan. Bibirnya tertekuk ke bawah. “Salah sedikit harusnya dimaklumi aja, Ma.”

Perfect love Deal [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang