Epilog

481 50 16
                                    

"Hyeji."

Hyeji menoleh, ia mengusap kedua matanya yang sehabis menangis. Lalu ia pun tersenyum tipis menyembunyikan rasa sakitnya. "Kenapa bang?" tanya Hyeji dengan suara paraunya.

Hyunjin tidak tega melihat adik satu-satunya bersedih terus menerus. Ia pun mengikis jarak di antara keduanya lalu memeluk tubuh Hyeji sangat erat, di dalam dekapan Hyunjin, Hyeji menangis kembali sambil menyalahkan dirinya atas kematian seseorang.

"Ini bukan salah lo dek,"

"Ini salah gue bang! Gue.. gua penyebab dia meninggal." lirih Hyeji.

Hyunjin melepaskan pelukan mereka, ia menggeleng dan mengusap sisa-sisa air mata dari Hyeji. "Ini takdir dek, bukan salah lo. Teman-teman lo sama sekali gak menyalahkan lo atas kematiannya. Mereka tahu karena ini takdir Tuhan, jadi stop bersedih dan salahin diri sendiri, oke?"

Hyeji menggeleng pelan. Kemudian ia pun langsung memeluk kakaknya lagi, Hyeji menangis sejadi-jadinya karena rasanya ini sangat sakit dan menyesal. Ia tidak pernah mau ini terjadi darinya terutama orang itu.

"Maaf," gumam Hyeji.

***

Jihoon baru saja keluar dari kantor kejaksaan sambil menenteng tas kerjanya yang berwarna hitam. Hari ini cuacanya sangat panas membuat kulit rasanya terbakar. Buru-buru ia berlari ke arah parkiran untuk masuk ke mobilnya di sana.

"Pak jaksa!" teriak seseorang.

Jihoon menyipitkan kedua matanya melihat siapa yamg berteriak. Takutnya juga panggilan itu bukan untuknya, di sini kan banyak jaksa masa iya cuma Jihoon doang.

"Woi jaksa Jihoon!" teriaknya lagi.

Jihoon kini ber oh ria saat melihat Junkyu ternyata orang yang memanggilnya. Jihoon menghampiri Junkyu di pos menunggu untuk orang-orang yang ingin bertemu dengan jaksa, ia berdecak sebal saat melihat Junkyu tengah menyengir lebar.

"Apaan anjir?!" sahut Jihoon kesal.

Junkyu membawa Jihoon untuk berteduh di bawah pohon. "Kumpul sekarang." ucap Junkyu kemudian.

"Ngapain? Gue mager. Cape banget habis ngurusin berkas-berkas pembunuhan berantai. Mana serem-serem lagi sial foto yang di tunjukkin, ada yang matanya hilang satu, tangannya buntung, kepalanya misah sama badan terus usus perutnya kemana-mana." jelas Jihoon seraya berlagak ingin muntah.

Junkyu menggelepak kepala Jihoon. "Jangan di ceritain dong asu! Gue merinding ini."

"Masa bodo haha,"

"Serius Hoon, sekarang waktunya kita ziarah."

Jihoon yang awalnya tertawa kini mengubah ekspresi wajahnya menjadi sedih. Ia seakan-akan melihat bagaimana kematian sahabatnya yang sedang menolong sahabatnya juga, hari tanggal bahkan detik kematiannya pun Jihoon mengingat jelas. Waktu itu Jihoon lah yang paling berduka atas kematian sahabatnya, ia tidak makan berhari-hari sampai meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang jaksa.

"Hoon jangan bengong!" sentak Junkyu menyadarkan Jihoon yang masih terdiam.

Jihoon menghembuskan nafasnya kasar. "Jam berapa?" tanyanya.

"Sekarang, Jihoon. Kita kumpul di rumah Yoshi habis itu langsung ke makamnya." ujar Junkyu seraya melirik arlojinya. Kini jam menunjukkan pukul 13:20 siang hari, hm pantas aja panas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

This My Boyfriend ; Haruto WatanabeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang