Part 4 (Karet Gelang)

399 33 6
                                    

Sepasang sandal swallow kuning terlihat mencolok di kedua kakinya, tapi justru itu style yang Ara sukai.

Memadupadankan sesuatu yang tidak cocok untuk dipasangkan merupakan hobi Ara sejak kecil. Ada kepuasan tersendiri apabila dia berhasil menciptakan sesuatu baru yang tidak disukai banyak orang.

Kaus polkadot pink dan celana training biru muda berhasil membuat tampilan Ara seperti pelangi berjalan.

Bercermin di kaca jendela depan rumah sembari mengikat rambut panjangnya yang sudah seminggu ini tidak ia keramasi, membuat kedua sudut bibirnya melengkung. Setidaknya Ara masih ingat bagaimana cara bahagia.

Kakinya melangkah menuju sepeda onthel yang terparkir di garasi. Sepedaan di Minggu pagi sepertinya akan menjadi pilihan terbaik. Tidak perlu mengayuh sampai gunung atau perbukitan, menurut Ara keliling komplek pun sudah cukup. Kedua kakinya mulai mengayuh sepeda warna oranye bercorak putih itu.

Belum satu kilometer mengayuh, kedua matanya panas ketika melihat dua sejoli yang sibuk kerja bakti di halaman rumah mereka. Siapa lagi kalau bukan Bagas dan istri tercinta.

Cerita ini konyol tetapi begitulah yang Ara alami. Usianya masih menginjak enam belas tahun tetapi menyukai sosok Bagas yang berusia jauh di atas Ara, yakni 28 tahun.

Awalnya, Ara menganggap di usia Bagas yang sudah dewasa dan masih sendiri, mungkin itu takdir Tuhan agar Bagas bisa menjadi pendamping hidupnya. Tetapi apa?. Justru dua Minggu lalu Ara menyaksikan Bagas menjabat tangan penghulu dan mengucapkan janji suci untuk perempuan lain.

Jangan kira Ara hanya diam memendam perasaannya, dia sudah berusaha mengungkapkan kepada Bagas, namun lelaki itu menolak. Ya, Bagas menolak secara halus tetapi justru itulah yang membuat Ara makin sakit.

Sudahlah, anggap saja seperti tidak ada yang beda. Dia masih bisa berdampingan dengan Bagas walau hanya sebatas tetangga.

Agar tidak seperti perempuan menyediakan, Ara sengaja membunyikan bel sepeda tanda permisi kepada dua orang itu.

Kring, kring, kring sembari tersenyum dibuat buat.

"Eh Ara, sini mampir." teriak Bagas namun Ara menggeleng. Dasar keluarga cemara, membuat Ara iri saja.

"Lain kali kak. Lagi buru-buru ni."

Ara semakin cepat mengayuh, tentu agar cepat menghindar dari tontonan memuakkan itu.

Setelah lama mengayuh tanpa gangguan, Ara memutuskan berhenti dan istirahat di minimarket samping kanan jalan raya.

Ara membeli satu botol air dingin, kemudian duduk di kursi depan minimarket.

Saat meneguk air, tiba-tiba Ara dikagetkan dengan kedatangan cowok blasteran Sunda Jawa. Gak di sekolah gak di rumah kenapa dia harus bertemu dengan Vian, cowok yang sok care dengannya.

"Ara?. Ngapain disini?"

Ara tersenyum, "Heee gue lagi istirahat ni, tadi abis sepedaan."

Vian mengangguk, kemudian duduk di kursi kosong depan Ara. "Sendirian doang?"

Lo gak liat gue cuma sendiri?

"Iya nih. Lo sendiri ngapain disini?" Ara memang ahli dalam hal bermuka dua. Baik di depan tapi entah di belakang.

"Beli telor pesenan kakak." jawabnya sembari menunjuk kantung plastik di atas meja. "Ehh, gimana kabar om sama tante? Perasaan udah lama gue gak main ke rumah lo."

Ara tersenyum lagi, "Baik kok, makanya main dong."

Vian nampak menimbang nimbang perkataan Ara, "Iya boleh, nanti abis ini ke sana deh."

BAD ALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang