Dari luar kafe, sore membayang. Kelabu awan memenuhi langit, rasanya sebentar lagi akan hujan. Lagu Aimer Refrain mengalun lembut di penjuru kafe. Harum kopi bertebaran dari ujung bar. Beberapa pelayan berseragam memakai apron cokelat menawarkan apakah gelas mereka perlu diisi atau tidak.
Rin mengajak Ryu bertemu di salah satu kafe benefit yang pintu utamanya terbuat dari kayu dan kaca kota-kotak seperti rumah bangsawan. Meja dan kursi kafe ini dipahat unik dan penuh seni. Bahkan bahasa yang digunakan sangat formal. Dari antara semua pengunjung, bagi Ryu, kafe ini seperti khusus untuk orang-orang terkenal atau para pejabat penting.
"Aku sudah duga kalau kau akan memanggilku suatu hari nanti. Jadi, tindakan memaksapun rasanya tak akan berguna. Sekarang lihat, siapa yang meneleponku," senyum tipis Rin agak mengejek. Wajah tirus dan rambut bergelombangnya dibiarkan jatuh di antara bahunya. Ia mengangguk ke arah pelayan yang baru saja meletakkan dua gelas kopi dan sepiring roti cushion kering.
"Katakan siapa kau sebenarnya? Sejak kapan kau bergabung dengan agensi Gilbert?"
Rin yang sedang menyesap kopinya berdeham lembut sambil menaikkan alisnya. "Wah, kau benar-benar tidak suka basa-basi, ya?"
Kalau bukan gara-gara ancaman lewat surel, mungkin Ryu tidak akan berniat sejauh ini. Di tambah keadaan Chelsea yang semakin membuat hari-harinya tak tenang. Ia ingin sekali memeriksa Kato sendiri, tapi sepertinya hal itu malah membuat Chelsea bisa bertindak sembarangan lagi seperti malam kemarin.
"Dari mana kau tahu kalau aku bersama Gilbert? Apakah Hidari yang memberitahumu?"
Sejenak, Ryu ingin berhati-hati untuk tidak membawa siapapun lagi dalam perbincangan ini, tapi Rin sudah lebih dulu membacanya.
"Aku menyimpulkan itu sendiri. Siapa yang tidak mengira kalau orang nomor satu di Tokyo ini bukan anak Gilbert?"
Rin tersenyum miring, ia meletakkan gelasnya di atas meja.
"Tebakan yang cerdas. Aku memang ada di agensinya. Bahkan, aku bisa mendaftarkanmu langsung tanpa administrasi untuk kesuksesan sampai 10 tahun lagi. Bagaimana?"
"Jangan terlalu banyak penawaran. Aku hanya ingin kau membawaku ke sana. Bawa aku bertemu Gilbert."
Kaki Rin yang sedang berpangku sebelah ia angkat sedikit untuk bertopang ke kaki lainnya.
"Kau tidak ingin bertanya syarat untuk bertemunya dulu?"
Ryu tergelak pelan. "Untuk apa aku mencari tahu syaratnya? Dia yang menginginkanku datang, dan tentu dia akan senang jika aku datang bukan? Oh, untuk syarat, aku sudah tahu. Pajak Artis Pendatang Baru, iya kan?"
Senyum kecil Rin yang tadi membentang seketika menyusut. Tatapannya yang dari tadi kelihatan seperti kucing licik seketika berubah tajam.
"Kau mendapat informan yang salah," katanya tajam. "Bukan hanya pajak itu, Ryu. Kau perlu pengabdian. Kau perlu loyalitas tinggi untuk menyentuh top atas. Dan sikapmu sama sekali bukan pilihannya."
"Apa maksudmu?" Jantung Ryu perlahan-lahan mulai terpompa cepat. Meladeni Rin yang kini terasa sudah telanjang sepenuhnya di depan matanya, kini terasa berbeda. Ia bukan lagi artis cantik dan anggun seperti yang ia temui pertama kali. Rambut tebal dan tubuh kurusnya seperti pemeran antagonis di drama Korea. Senyumnya menukik mengerikan, seakan dia diam-diam menyimpan pisau di belakang tubuhnya.
"Waktu kau datang ke rumah Kato, menjemput Chelsea--"
Ryu langsung terlonjak dari kursinya, "Bagaimana kau--" Tidak salah lagi. Dia memperhatikanku selama ini.
Terdengar Rin tertawa pelan, ia menikmati wajah kaget itu seperti menjilati rasa takut Ryu. "Kau tidak tahu akan berhadapan dengan siapa, Ryu. Bukankah sudah kubilang kau terlalu naif? Sadarlah, dunia ini kejam, bukan lagi soal cinta monyet masa SMA."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Kiss 2
RomanceCompleted. Sekuel dari Tokyo Kiss "Kau pikir dunia ini masih soal cinta masa SMA, hah?" Rin menggeleng kecil sambil tersenyum mengejek, "kau sangat naif, Ryu." --- Setelah International School, kini kisah Ryu dan Chelsea harus dihadapakan pada keny...