15

2.7K 436 90
                                    

Enjoy it



.
.
.
.




Renjun diam di kursi depan sebuah ruang rawat sambil menggigit ujung kukunya. Otaknya berpikir sembari berusaha menenangkan emosinya yang meletup, ditambah diselingi rasa penasaran yang tidak kunjung teratasi.

Mata gadis keturunan China itu hanya bisa menatap pintu di depannya. Gelisah. Renjun penuh dengan kegelisahan saat ini. Sudah hampir sejam tapi dokter yang memeriksa Jisung tidak kunjung keluar.

Tepat di menit ke 55 sejak gadis itu tiba di rumah sakit, barulah dokter paruh baya itu keluar.

"Dokter, bagaimana keadaan Jisung?" Tanya Renjun tidak sabaran.

"Kau adiknya?" Tanya dokter itu.

Okey, ini bukan saatnya marah. Fakta bahwa Renjun satu tahun lebih tua dari Jisung dan malah dikira adiknya, sebenarnya itu agak menoreh harga dirinya yang tinggi. Tapi mari abaikan saja.

"Bukan."

"Bisa aku bicara dengan keluarganya? Ada yang harus aku pastikan."

Renjun gelagapan, "Ah, anu, ayah dan ibunya--"

"Renjun!"

Mata Renjun langsung membola dan hela nafas leganya keluar, "Ah, itu ayahnya!"

Sosok Mark yang masih mengenakan setelan kerja berlari ke arah Renjun. Wajahnya nampak letih dan bercucuran keringat, belum lagi rambutnya yang biasa tertata ke atas sekarang sudah turun menutupi dahi, saking lepeknya.

"Anda ayah pasien Lee Jisung?"

Mark dengan nafas yang terputus-putus membalas dengan mengangguk, "Mark Lee imnida."

Dokter itu kemudian membawa Mark ke dalam ruangannya. Sementara Renjun dimintai tolong oleh Mark untuk menemani Jisung di dalam. Gadis mungil itu langsung masuk ke dalam ruang rawat Jisung. Si anak lelaki rupanya sudah sadar, tapi pandangannya begitu gamang dan kosong ke arah langit-langit.

Apa yang terjadi?

"Lee Jisung." Panggil Renjun datar.

Lelaki sipit tidak merespon. Renjun menghela nafas panjang.

"Kau masih hidup?" Tanyanya, "Kalau masih, jawablah panggilan orang dengan benar."

Mata itu akhirnya menatap Renjun. Merah dan basah. Juga bengkak. Apa dia habis menangis?

"Kau.... Menangis?"

Renjun mendekati Jisung. Kemudian tanpa ragu menaikkan poni legam yang semula menutup samar matanya, hingga kini nampak jelas.

Benar.

"Kau menangis. Apa yang terjadi?"

Jisung bungkam. Diam membisu, lebih tidak sanggup menjawab. Bayang-bayang Chenle, ucapannya, juga sosoknya, masih terus memenuhi hati dan pikiran Jisung. Tidak ada yang ia rasakan selain rasa sesak yang benar-benar memintanya untuk mati.

"Kau dikeroyok preman?" Tanya Renjun lagi, "Ceritakan padaku. Kalau kau memang dikeroyok preman atau geng anak sekolahan, aku akan mencari mereka dan membalasnya." Ucap Renjun tidak main-main.

"Buka mulut, Lee Jisung." Geram Renjun.

Jisung menggeleng pelan, kemudian meraih tangan Renjun untuk digapai. Pandangannya berubah memohon, "Jangan membalasnya. Jangan lukai dia."

Jangan sakiti Chenle.

Renjun semakin tidak paham, "Katakan dulu siapa yang melakukan ini padamu?"

UNRAVEL [GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang