21. Finale (End)

3K 320 168
                                    

.

6 bulan kemudian

Hinata merasa kosong. Kadang dia mengerjap berkali-kali dari jendela kamarnya. Menyadari musim dingin tak lagi dingin. Musim semi bahkan telah berlalu. Dan Sasuke mengikuti perkataannya untuk tidak kembali.

Pengecut.

Apa pria itu tidak tau jika pergi selamanya adalah hanya sebatas berpisah? Sekalipun kalimat yang Hinata ucapkan sangat menyakitkan. Tapi apa itu menjadi alasan untuk menghilang?

Tidak ada telpon
Tidak ada email
Tidak ada jejak keberadaannya

Setelah beberapa bulan merenung, Hinata tau kali ini Kami-sama sedang menghukumnya. Karena telah menyakiti sang suami sedemikian rupa. Melakukan penolakan terus menerus dan terus berprasangka. Dan ketika melihat ke wajah anak-anaknya, Hinata merasa seolah hukumannya bertambah. Kedua bayi itu memiliki wajah Sasuke.

Setelah melamun cukup lama, Hinata berjengit ketika suara Tenten membuyarkan lamunan. Wanita hamil itu (Tenten sudah menikah dengan Neji 4 bulan lalu dan saat ini wanita bercepol yang mesum itu sudah hamil 3 bulan) menghampiri Hinata dengan raut sedih. Hinata kehilangan ekspresinya sejak Sasuke tidak pernah kembali paska pengusiran yang dilakukan Hinata.

"Kau melamun lagi?" tanya Tenten dengan senyum tipis.

"Gomen," balas Hinata enggan.

Tenten mengangguk. "Kau harus mengurangi kebiasaan itu. Bagaimana jika saat itu terjadi kau sampai tidak menyadari kedua bayimu menangis?"

"Maafkan aku. Terkadang..." Hinata tercekat. Kalimat selanjutnya tidak bisa ia ungkapkan karena rasa sakit yang mendera. Sakit yang tidak pernah dia rasakan. Sakit akan kehilangan.

"Jika begini saja sudah menyiksamu, kenapa kau meminta berpisah?" tanya Tenten dengan prihatin.

Hinata tidak bisa menahan air matanya. Tenten segera memeluk wanita indigo itu dan mengusap lembut kepalanya.

"Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kau membencinya secara tiba-tiba. Aku bisa melihat caranya mencintaimu sekalipun berbeda dengan cara pria lain mencinta. Dia melindungimu dengan cara yang aneh. Tapi... Dia mencintaimu. Aku bersumpah atas nama bayiku aku melihat cinta itu. Tapi kenapa kau menyalahkan semua yang terjadi padanya? Hanya karena dia tidak jujur?" tanya Tenten dengan lembut. Hinata mengangguk dalam tangisnya.

"Kau juga tidak sepenuhnya jujur bukan? Kau selalu mengatakan bahwa kau membencinya," lanjut Tenten.

"Dia sumber lukaku. Aku hanya ingin tidak terluka. Hiks..."

"Apa setelah dia pergi kau tidak lebih tersiksa? Apa kau sanggup jika selamanya dia pergi?"

Tangis Hinata semakin keras. Saat ini saja rasanya seperti mati. Dia hanya marah. Lalu kenapa Sasuke tidak memahaminya? Itu kan masalah hormon. Bukankah berpisah saja sudah cukup?

"Kau tidak ingin mulai memperbaikinya?" tanya Tenten hati-hati.

"Aku sudah mengata-ngatainya selama berbulan-bulan. Itu bukan kata-kata yang baik. Aku bahkan mengharapkan dia... mati..."

Tenten tercekat mendengar penuturan itu. Mulutnya kelu namun dia mengeratkan pelukannya pada Hinata karena tidak tau harus mengatakan apa. Kemarahan sangat buruk. Keegoisan merusak segalanya.

.

.

.

.

.

Pagi yang buruk. Hinata bahkan bangun dengan kepala yang berdenyut sakit. Cukup bersyukur karena kedua anaknya hanya terbangun sekali malam itu dan membuat Hinata menangis. Mungkin saja jika Sasuke ada di sini pria itu bisa membantunya. Tapi dia telah mengusirnya bukan? Ironis.

Love, Life, Lie [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang