Kala itu, aku mati-matian menahan tangis.
Menjaga agar bibir ini tetap melengkungkan senyum.
Berkata iya berulang kali tak peduli dengan suara yang nyaris pecah.
Memangnya aku bisa apa?
Tak mungkin aku melawan kehendak Tuhan.
Tak mungkin aku marah dan mengabaikan.
Mungkin kelam akan menghiasi, sebulan-dua bulan.
Setelah itu, ketika kamu melihatku lagi, bisa kupastikan bahwa senyumku tetaplah sama.
•••
dee| 4:05 pm
KAMU SEDANG MEMBACA
Parfait en Ruine
PoesiaOur story is imperfect, yet beautiful and worth remembering.