Kau dan aku adalah sama yang tak senada, tak sederajat, tak sejalan.
Aku bukan Rengganis yang mampu meranggaskan semua harapannya saat Biru tak lagi dapat dijamah.
Bukan pula riak air yang akhirnya diam tenang setelah lama tak dicumbu tangan jahil manusia.Aku keras kepala, lebih mirip seperti karang di tepi pantai yang ombaknya menggebuk ganas.
Sendirian, penuh keberanian, namun kesakitan.Mustahil rasaku sampai padamu--padamu yang serba berkecukupan, sempurna, dan baik hatinya.
Bahkan, (mungkin) kau tak akan pernah menemui surat belepotan ini dalam berandamu yang padat.Seringkali aku menelan ludah sendiri demi mengusir haus, melucuti janji yang sudah terbingkai rapi namun rapuh.
Kemarin, kemarinnya lagi, banyak waktu yang kucurangi untuk mengais memori tak seberapa yang kau cecerkan hingga tak lagi utuh.Semuanya berkesan. Indah, namun penuh akan penghakiman dan keputusasaan.
Tapi, semuanya harus usai kan?
Aku ingin menyentuh bait-bait ikhlas itu lagi, kali ini dengan penuh kehati-hatian.
Aku ingin kembali membacanya, memahami maknanya, hingga akhirnya bisa menampar egoku dengan tepukan lembut namun kuat.Dan sebelum kita benar-benar menjelma menjadi kebisuan, izinkan aku untuk menulis surat perayaan.
Terimalah meski mungkin tak terbaca, sebab hanya ini yang dapat kutawarkan--perpisahan paling meriah tanpa banyak sedu sedan.
Sampai jumpa pada Mei selanjutnya.
Buatlah harapan pada Tuhan, semoga kita selesai secepatnya.dee| 08.08 am
KAMU SEDANG MEMBACA
Parfait en Ruine
PuisiOur story is imperfect, yet beautiful and worth remembering.