47. 🍁Duka

48K 4.3K 1K
                                    


Happy Reading💖

Laki laki itu meremas gundukan tanah lembab dihadapannya, air matanya tidak henti meluruh deres dipipinya. Tidak pernah ia sekacau ini selama hidupnya.

Separuh hidupnya terasa hilang, tangannya terulur mengusap pelan nisan hitam beruliskan warna emas, hatinya kembali teriris kala membaca nama dinisan itu.

Adiknya, gadis kecil yang selalu mampu menjadikan ia lelaki yang paling beruntung. Memiliki malaikat kecil yang selalu mengisi hatinya sejak adiknya itu lahir.

Baru kemarin rasanya ia menemani adiknya itu tidur, menyanyikan lagu pengantar tidur jika adiknya masih terjaga dimalam hari, selalu mengusahakan yang terbaik untuk adiknya.

'Kaynara Queenssez Fredric' Max lagi lagi menatap tidak percaya tulisan dinisan hitam itu. Hanya beberapa minggu ia meninggalkan princessnya. Kenapa kepulangannya disambut dengan duka yang mendalam seperti ini.

Pelukan hangat dari Ara, sambutan sesungguhnya yang ia harapkan.

Lelaki Fredric berbeda generasi tidak kalah terpukul dengan kepergian mutiara keluarga mereka, peri kecil yang selalu menyambut mereka antusias didepan pintu utama mansion. Kaki mungilnya yang langsung berlari dan merengek meminta agar digendong, tingkah mengemaskan, binar mata, bibir ranum yang mengerucut, semua itu. Tidak dapat mereka lihat lagi.

Violetta menangis dalam pelukan suaminya, putri kesayangannya, kini harus istirahat dipangkuan Tuhan. Baru kemarin rasanya ia membantu Ara mandi, memasak sup kesukaan Ara, mendengarkan semua cerita malaikat kecilnya itu.

Tidak mudah untuk mendapatkan Ara, bahkan ia dan suaminya sempat menyerah, sangat sulit mendapatkan generasi perempuan dikeluarga Fredric. Violetta dan Steven dulu sempat menyerah saat Niel lahir dan memutuskan untuk tidak memiliki buah cinta lagi. Namun siapa sangka, mujizat Tuhan hadir ditengah tengah keluarga mereka, dengan hadirnya malaikat kecil yang menjadi sumber kebahagiaan bagi keluarga besar mereka.

Inggrit bunda Ara, menangis sejadi jadinya, ia yang selama ini mengharap putri perempuan. Menghabiskan weekend dengan berbelanja di mall, melakukan kegiatan menyenangkan ala para wanita bersama anak perempuannya, harapannya pupus saat melahirkan Arsel, dokter menyarankan agar tidak mengandung lagi, karena akan ada kemungkinan kemungkinan yang terjadi melihat kondisi rahimnya yang sedikit bermasalah.

Akhirnya harapannya mempunyai anak perempuan terwujud setelah istri kakak tertua suaminya itu melahirkan bayi perempuan ke dunia ini. Besarnya rasa cintanya kepada Ara tidak dapat diukur. Kepergian anak perempuannya yang selama ini ia sayangi, sungguh hal seperti ini tidak pernah sekali pun terlintas dipikirannya.

Arlon menabur bunga dengan sendu dimakam Ara, ia sendiri merasa bodoh tidak bisa menyelamatkan adiknya. Merasa gagal ketika adiknya menghembuskan nafas terakhir ditanganya sendiri. Apa gunanya ia menjadi dokter jika ia tidak bisa menyelamatkan adiknya. Bukankah kesehatan Aralah yang menjadi alasannya untuk menjadi dokter yang hebat? Ia merasa gagal akan hal itu.

Tapi bukankah dokter juga manusia biasa?

Berbeda dengan Bara yang masih menyimpan amarah sejak kemarin, rahangnya yang mengeras, sorot matanya tajam dengan sesekali terlihat sendu, bahkan ia sempat mengurung dirinya, menghancurkan apa saja yang ada didekatnya. Ia tidak berhasil menepati janjinya kepada Max agar tidak membawa Ara ikut dalam Black Falcon.

Arsel tidak dapat menahan rasa sedihnya, gadis yang disebut sebut kembarannya itu sudah tiada, kenapa Ara juga mengikari janjinya seperti Rio yang mengikari janjinya untuk selalu bersama, bukankah mereka telah berjanji akan selalu bersama, bahkan akan berada dalam sekolah dan kelas yang sama juga?

Isak tangis Niel mengisi saat saat duka dimakam Ara, abang keempat Ara itu tidak bisa mengontrol tangisnya. Perasaan gagal menjaga adiknya terus menghantui pikirannya. Perasaan tidak becus melindungi Ara, hingga adiknya itu meninggal dalam pelukannya, kejadian itu terus berputar putar, layaknya kaset rusak diotak Niel, semua ini salahnya.

Max merangkul bahu Niel, ia tahu adiknya itu sangat terpukul, "Adik kita sudah bahagia disana," Max memeluk Niel, menepuk beberapa kali punggung rapuh adik laki lakinya, menyalurkan kekuatan yang dirinya sendiri juga butuhkan.

Entahlah, ia tidak tahu bagaimana ia menjalani hidupnya setelah ini, tidak akan ada lagi obat paling ampuh ketika ia letih bekerja, tidak akan ada lagi senyum menawan dibibirnya ketika ia melihat binar bahagia dimata adik kecilnya, yang kini sudah bersama Tuhan.

Semuanya terasa cepat, bisakah waktu diputar sekali saja? Oh ayolah mereka sangat menderita sekarang.

"Menangislah, jika itu membuatmu lebih baik," Rian berkata kepada ayahnya yang terlihat menahan air matanya sejak kemarin.

Jhon bersimpuh dimakan Ara, tanganya terulur mengusap nisan wanita yang amat ia cintai setelah istrinya.

"Nara, hey. Apakah Nara opa sudah bertemu dengan Oma? Apakah kalian bahagia sekarang?" Jhon tersenyum getir dibarengi air matanya yang setetes demi setetes meluruh dipipinya yang sudah keriput.

"Apa yang sedang kalian bicarakan saat ini? Awas saja jika kalian menceritakan Opa ya," Jhon tertawa kecil, kini air matanya sudah meluruh deras, kenapa kedua wanita yang amat ia cintai diambil oleh Tuhan.

Sedangkan laki laki seumuran dengan Ara, menatap nanar ke arah makan yang dipenuhi bunga itu, kenapa teman semasa kecilnya itu tega meninggalkan ia. Bagaimana ia bisa menjalani hidupnya jika mereka terbiasa bersama sejak kecil, ini sangat tidak adil baginya, bagaimana Ara bisa meninggalkan luka sepedih padanya, Ara yang ia kenal tidak pernah melukai siapa pun.

Jika boleh ia menawar kepada Tuhan, ia akan memohon Aranya kembali lagi.

Ia menoleh ke samping, kenapa sangat menyakitkan melihat makam Ara. Matanya merincing saat melihat gadis cantik memakai dress putih selutut berdiri dibawah pohon, kakinya refleks melangkah mendekati gadis itu.

Semakin kakinya mendekat, semakin gadis itu menjauh, ia mempercepat jalannya hingga ia berlari sekencang kencangnya. Sampai gadis cantik itu hilang dari penglihatannya dibarengi dengan cahaya indah yang menutupinya.

"ARAAA..,"

Nafas Rio tidak beraturan, mimpinya tentang Ara meninggal mampu membangunkan tidur panjangnya selama tiga tahun.

Seorang perawat yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Rio langsung berlari menghampiri pasien yang selama ini terbaring tidak berdaya dibrankar.

"Puji Tuhan, apa yang sekarang anda rasakan? Apa ada yang sakit?" gumam perawat itu sambil mengecek alat alat medis yang selama ini melekat ditubuh Rio.

Ia bersyukur akhirnya ada mujizat untuk pasiennya selama tiga tahun itu, ia ikut bahagia sebelum senyum dibibirnya kembali luntur.

"Rio Alfredo Abrissam? Apakah ada dapat mendengar saya?" tanya perawat itu.

"Kaynara," gumam Rio pelan.



Little Sister  [U P D A T E   U L A N G]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang