42. Di Balik Kisah Dongeng (part 2)

4.6K 738 277
                                    

Gedung kantor polisi terlihat berdiri dengan rapuh. Di hadapan Shouki Wisanggeni segalanya muram dan sendu.

Ia sudah berdebar sepanjang siang, menanti seseorang yang sudah dua hari menghilang. Hanya dua hari, tetapi Shouki sudah merasa tidak bertemu terlalu lama.

Pagi ini Rayyan dibebaskan dengan pengawalan surat penangguhan. Ia masih dalam pengawasan polisi hingga proses penyidikan usai. Namun, bagi Pak Pram segalanya hanya formalitas. Tidak ada alasan bagi penyidik untuk menahan Rayyan Nareswara lebih lama lagi. Pak Pram juga akan membuatkan surat kepada kampus tempat Rayyan berkuliah bahwa yang bersangkutan hanya ditahan sebagai saksi.

Mestinya tak ada hal yang perlu dirisaukan. Shouki tersenyum saat pintu itu terbuka. Rayyan melangkah keluar dari sana. Meskipun Shouki sudah mengirimkan baju ganti selama ditahan, Rayyan masih mengenakan pakaian yang sama sejak mereka berpisah. Setelan kaus hitam dengan celana denim, yang dalam ingatan Shouki terlihat menarik, sekarang terlihat lusuh.

Wajah Rayyan Nareswara yang selalu menawan bagi Shouki ... kini begitu muram. Matanya tidak lagi tajam dan cerah. Kosong. Rayyan tidak langsung melihat pada Shouki ketika didatangi. Ia menatap petugas kepolisian dan tim kuasa hukumnya.

"Papa saya, Pak Bernardi Setiawan, juga ditahan di dalam. Beliau enggak bersalah sama sekali ... bisa tolong Papa saya?"

Suara Rayyan parau. Shouki langsung merasakan nyeri di dadanya hanya karena mendengar suara itu. Saat mereka sudah berdiri dengan jarak cukup dekat, Shouki menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menarik Rayyan dalam pelukan.

"Ra," panggilnya.

Rayyan menoleh.

Sejak mereka berpisah di Tiadadua, ini kali pertama mata mereka kembali beradu.

Mata Rayyan merah, kelopak sembab, agak berkaca. Ia kurang tidur. Ia terlihat begitu lelah. Shouki juga pernah melihat kematian. Keluarga yang meninggal, kecelakaan motor di hadapannya. Namun, ia masih belum bisa membayangkan apa yang Rayyan hadapi. Melihat mayat orang terdekatnya dengan kondisi mengerikan, dengan surat penuh kebencian yang menyebut namanya sebagai pembunuh.

Rayyan barangkali tidak tidur selama ia ditahan.

"Pak Shouki, maaf ... kalau saya lancang minta tolong begini, tapi apa Pak Pram juga bisa jadi kuasa hukum, untuk bantu Papa ... kasihan Papa nangis-nangis di dalam."

Shouki hanya tersenyum.

Senyum yang tidak mencapai matanya.

Shouki sampai tak sanggup melihat mata Rayyan yang letih, tak sanggup mendengar tutur kata yang terdengar terlalu lirih. Ia cuma menjawab kecil, "Oke, Rayyan. Nanti diurus. Kita pulang sekarang?"

Rayyan mengerlingkan matanya, menjauh. Shouki merasa kehilangan meski mereka sudah berjalan dengan jarak cukup dekat.

Setelah berpamitan cepat dengan petugas kepolisian, Shouki berlari menyusul Rayyan. Ke luar dari kantor polisi, ke parkiran, Rayyan berjalan perlahan di sisinya, tetapi mata itu kosong. Di depan mobil, Rayyan seperti orang linglung. Ia menoleh sekeliling, menelan ludah, mengerjapkan mata begitu lama, seolah-olah ia sedang berusaha mencerna apa yang terjadi di sekitarnya.

Shouki tak bisa menahan diri untuk menggenggam tangan Rayyan, secara lembut dan diam-diam. Gandengan tangan mereka terhalang di antara bodi mobil yang diparkir, tak seorang pun bisa melihat, singkat dan mengena.

Saat Pak Pram datang, Shouki masih tak ingin melepaskan tangan Rayyan. Ia berucap penuh terima kasih, "Pak Pram, terima kasih banyak atas bantuannya. Rayyan bisa bebas berkat Bapak."

Rayyan ikut menoleh pada sang pengacara, mengangguk. Mereka berjabat tangan dan berpisah dengan senyum hangat. Pak Pram berjanji akan menghubungi Shouki kembali dalam waktu dekat. Semua ini belum sepenuhnya berakhir, tetapi di hadapan Rayyan, Pak Pram hanya memberikan senyum yang menenangkan. Istirahat di rumah, ya. Enggak usah mikirin apa-apa. Kamu udah bebas.

DADDY HOT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang