32. Ombak Pertahanan

5.1K 768 260
                                    


Laila Maysita selalu tahu cara tersenyum untuk menarik hati pria, menyenangkan anak kecil, dan membuat wanita lain cemburu.

Cara berjalan Laila seperti wanita yang mahal. Bu Titian langsung berdiri saat melihatnya datang bersama sosok pria berkelas, disangka nyonya besar.

"Selamat datang," sapa Bu Titian ramah. Seramah apa pun Bu Titian, jarang sekali menyapa tamu seperti ini. Bu Titian cepat membaca warna aura dan melihat bahasa tubuh. Yang datang ke kafenya bukan orang biasa. Sasaran segmentasi kafenya adalah anak muda dan pekerja kantoran. Pasti Bu Titian merasa senang sekali bisa kedatangan keluarga CEO miliuner.

Takut, Astia dan Sihar melirik Rayyan.

Rayyan sedang hilang koneksi dengan realitanya saat itu. Ia berdiri di balik meja konter seperti hewan tersudut, bebek siap dipotong. Napasnya terhenti di pangkal tenggorokan, ia membeku.

Bu Titian tak sempat melihat wajah cemas karyawannya. Ia sedang menarik kursi dan mempersilakan tamunya duduk. Senyumnya hangat pada Pak Ardi. "Hanya bertiga, Pak? Kalau mau, bisa duduk di sofa yang di sana, lebih adem."

"Oh, di sini juga gapapa. View-nya enak, tengah ruangan," Pak Ardi menjawab sekadarnya. "Kamu mau di mana, Sayang?"

Laila dan Aldi saling melirik akrab. Calon ibu dan anak ini kompak menjawab, "Di sini aja boleh!"

Bu Titian tersenyum menatap mereka, lalu kembali mengajak Pak Ardi bicara. Gesturnya sedikit membungkuk. "Maaf sebelumnya, apa Bapak ini ... Pak Ardi Arthatama?"

Pak Ardi sedang duduk, anehnya ia terlihat seperti sedang berdiri penuh kuasa. Alis matanya terangkat naik. "Ya, betul, ada apa, ya?"

"Oh, gimana kabarnya, Pak? Mungkin Bapak lupa dengan saya. Kita pernah ketemu di retail franchise expo, business exhibition di JCC tahun lalu. Saya ini masih sepupuan dengan Pak Henri, kita ngomongin bisnis talas Jepang waktu itu."

"Ohh .... " Pak Ardi langsung bangkit dari kursi. "Pak Henri yang masih kerabat dengan Wapres? Saya ingat sekarang. Apa kabar?"

"Baik." Bu Titian menjabat tangannya sangat erat. "Suatu kehormatan Pak Ardi bisa berkunjung ke kafe saya ini."

"Boleh minta nomornya? Dengan Ibu siapa—"

"Titian. Panggil aja saya Titian."

"Oke, Titian, siapa tahu ada prospek cerah untuk bisnis berikutnya—"

"Ehem." Laila berdeham sambil tetap menjaga senyumnya. "Kayaknya Aldi udah laper, Mas. Mas Ardi mau pesan apa?"

Pak Ardi kembali duduk. "Aku sukanya kopi, kalau ada yang khas Nusantara. Kenalin ini calon istri saya, dia yang ngajakin saya ke kafe ini. Katanya tahu kafe ini lihat di aplikasi, rating-nya bagus."

"Oooh, terima kasih .... Senang berkenalan, Bu," sapa Bu Titian sopan.

Laila tidak berdiri dari kursi, hanya tersenyum mengangguk.

"Kita punya banyak pilihan menu fusion dan pilihan kopi atau teh. Untuk pesan minum silakan langsung di konter," Bu Titian menjelaskan pada Pak Ardi.

Laila memotong, "Boleh minta menunya dibawa ke sini, Mbak Titian?"

Fokus Bu Titian teralih dari Pak Ardi pada Laila. "Oh, boleh, boleh, mohon tunggu sebentar."

Bu Titian memberi isyarat pada Sihar untuk mengantarkan daftar menu.

Sihar meremas celemeknya, separuh hati membawa menu. Dia ingin sekali membisikkan Bu Titian. Bu, ini dia tamu yang pernah bikin rusuh di kafe waktu itu, Bu.

DADDY HOT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang