satu

657 66 2
                                    

Angin malam berhembus menerpa kulitku, rambut hitamku telah menari-nari sejak tadi. Dingin rasanya, tapi aku tidak peduli. Perih di hatiku lebih besar daripada dinginnya angin malam saat ini.

Bulan nampak sangat indah, tidak seperti hatiku yang kini sudah tak jelas bentuknya. Terlalu banyak kesedihan di dalam hingga membuatnya meledak, tidak kuat menahan semua dan akhirnya.....

....mati.

Kepalaku menengadah, kembali menatap bulan. Indah sekali pikirku, bentuknya bulat sempurna dan cahaya yang dipancarkannya. Ya, meski kutahu itu bukan cahaya miliknya.

Aku tersenyum seraya memeluk kedua lututku yang tercetak berbagai lebam. Menghela nafas panjang, kemudian beralih pada hamparan laut di depanku.

Pantai, aku sangat suka tempat ini.

Tak peduli banyaknya pasir yang akan menempel di bokongku, aku tetap duduk nyaman sedari tadi. Sudah kubilang, perih di hatiku lebih besar. Sampai-sampai dingin yang menusuk tulangku kalah darinya.

"Bunda, haruskah aku menyusulmu?"

Cukup lama hingga aku tersadar, lalu aku terkekeh pelan. Bodoh sekali diriku. Aku mengucapkannya seakan-akan bunda ada bersamaku, seakan-akan bunda mendengar dan akan menjawabnya. Nyatanya itu mustahil, bunda tidak akan pernah kembali ke sisiku, selamanya.

Aku ingin menangis, tapi untuk kesekian kalinya aku menahannya. Bunda tidak suka hal itu, ayah juga akan memarahiku jika melakukannya. Biarlah, cukup hatiku yang menampung semuanya.

Hatiku memang sudah mati, tidak jelas bentuknya. Makanya aku membiarkannya menampung segala kesedihan yang kumiliki.

Berharap dia hidup lagi?

Tentu saja tidak, hatiku terlalu lemah untuk hidup kembali. Membiarkannya seperti itu agar aku tidak merasakan apapun lagi. toh, sudah mati.

Bodoh, ya?

Tapi itu caraku agar tidak menyerah. Agar tahu, masih ada yang bisa aku lakukan di dunia ini.





"Kamu tahu ini sudah malam?"

Aku sontak berbalik, mendapati siluet seorang lelaki yang tengah berdiri di sampingku. Ah, aku terlalu meratapi kesedihan hingga tak menyadari kehadirannya.

"Hey, kamu tidak mendengar saya?" dia kembali bertanya.

"A-ah iyaa, aku tahu ini sudah malam," jawabku.

Aku tidak tahu siapa dia, dan aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tidak ada pencahayaan di pantai ini, hanya pancaran sinar bulan yang terhalang oleh tubuhnya.

"Kalau tahu kenapa ada disini?" katanya tetap menatap hamparan laut sedari tadi.

"Maksudnya?"

"Kamu perempuan, bukan? Ini tidak baik untukmu. Kamu bisa dalam bahaya."

Aku mengangguk, mengerti maksudnya. "Tak apa, aku sudah terbiasa"

Aku kembali menatap ke depan. dia hanya diam, tidak berbicara lagi. Aku juga tidak tahu harus berkata apa.



Cukup lama, hingga akhirnya dia kembali berucap, "Pulang lah," katanya

Aku tersenyum miris, "Untuk apa aku pulang?"

"Orang tuamu pasti khawatir di rumah."

Tidak ada lagi rumah bagiku.






"Tenang saja, tidak ada yang mengkhawatirkanku"

Kudengar dia menghela nafas, lalu berjalan menjauhiku. Aku berbalik melihatnya pergi, "Mau kemana?" tanyaku.

"Pulang," jawabnya masih tetap berjalan memunggungiku.

Aku mengendikkan bahu dan kembali menatap ke depan. Membiarkan lelaki itu pergi begitu saja. Mungkin dia bosan berada di sampingku yang nampak seperti mayat hidup.



"Hey!"

Kudengar kembali suara itu, lumayan keras. Aku berbalik dan mendapatinya. Kini dapat kulihat jelas lelaki itu. Rambutnya yang tertiup angin malam dan wajahnya yang terkena sinar bulan, seakan-akan sinar itu hanya untuknya. Aku terpesona oleh makhluk tuhan yang satu ini.

"Ada saya yang mengkhawatirkanmu!" katanya kemudian berlalu pergi.

Aku tersenyum.

Benarkah?

- huang renjun -

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang