dua puluh dua

166 33 3
                                    

"Maaf"

"Kakak sudah mengatakan itu lebih dari sepuluh kali, loh" Senja terkekeh.

"Maaf sekali lagi," saya menunduk, benar-benar merasa bersalah. "Mungkin kata maaf tidak cukup dengan membayar perbuatan saya."

"Sudahlah, kenapa minta maaf? Kakak ga salah," katanya.

Saya sekali lagi hanya menunduk.



Tangan kecilnya saya rasakan tengah mengusap bahu saya pelan. "Aku ga papa, tenang saja."

Saya telah menanyakan apa yang tadi dikatakan Haechan tentangnya. Dan katanya itu benar, dia tidak menyangkalnya. Saya dibuat bersalah habis-habisan.




"Saya ingin tahu lebih lanjut tentangmu, tidak apa?"

Dia menatap saya, kemudian tersenyum. "Kakak mau tahu tentang apa?"

"Semuanya, tentang kamu. Kisahmu, warna kesukaanmu, golongan darahmu, bahkan ukuran sepatumu kalau perlu."

Kulihat dia tertawa. Tawa indah yang entah sejak kapan menjadi favorit saya.



Oh, saya lupa. Kami masih berada di kebun bak labirin ini. Saya memutuskan mengajaknya bolos untuk hari ini.

Tenang saja, ada Haechan yang akan membuat 1001 alasan untuk saya jika guru bertanya tentang keberadaan saya saat ini. Perihal mencari alasan, dia jagonya.






Senja beralih pada kebun indah di hadapannya, kulihat dia menarik nafas sejenak kemudian kembali tersenyum.

"Aku lahir dari sebuah hubungan terlarang, tentu kakak tahu akan hal itu. Tentu saja, ayah dan bunda akhirnya menikah karena terpaksa."

Saya diam mendengarkan ceritanya.

"Bundaku sudah meninggal sewaktu aku berumur 4 tahun. Beliau meninggal karena sakit."

Saya terkejut mendengarnya. Baru tahu kalau bundanya sudah lama meninggal.





Sepertinya pendengaran bundamu perlu diperbaiki

Sekarang saya tahu alasan ekspresi Senja yang tiba-tiba berubah begitu saja waktu itu.

Bodoh kamu, Huang Renjun.





"Maaf," kata saya.

"Untuk?"

"Waktu itu saya mengatakan pendengeran bundamu perlu diperbaiki."

"Ah, tidak apa. Itu sudah lama," lagi-lagi dia terkekeh.







"Semenjak bunda meninggal, aku tinggal dengan ayah sampai sekarang. Nenek dan kakek sudah meninggal, aku juga tidak tahu kemana semua kerabat mereka. Kupikir semuanya menjauh akibat hubungan terlarang yang sempat dijalani ayah dan bunda waktu itu. Makanya aku tinggal dengan ayah."

"Semenjak dulu aku selalu diejek. Dikatakan anak haram dan sejenisnya. Makanya aku tidak punya teman. Aku tidak menyangkal, lagipun itu benar. Aku juga sudah terbiasa."





Senja menarik nafas pelan, "Seperti yang kubilang, ayah bunda menikah karena terpaksa. Meskipun pernah melakukan hubungan terlarang itu, setelah menikah tidak ada cinta di antara mereka. Ayah membenci bunda, dan bunda terpaksa mencintai ayah."

"Hampir setiap hari aku mendapati pecahan piring di lantai, mendengar perdebatan mereka, melihat bunda yang setiap malam datang ke kamarku dengan berbagai lebam di wajahnya. Dia datang memelukku yang sudah ketakutan, menenangkanku, menemaniku tidur di malam hari. Aku tahu bunda selalu menangis saat aku tidur. Dia selalu menyembunyikan hal itu dariku."

Gadis itu tetap tersenyum, dengan air mata yang meluncur sempurna di wajahnya.







"Bunda sosok wanita terkuat yang aku kenal. Dia tidak pernah marah kepadaku. Selalu saja menyembunyikan tangisnya."

"Saat kutanya alasan kenapa wajahnya dipenuhi luka, dia selalu saja mengatakan bahwa bunda telah membuat ayah marah. Katanya ayah tidak sengaja."

Gadis itu terisak, "Tapi aku tahu itu bohong. Ayah selalu pulang dalam keadaan mabuk. Selalu memukul bunda tanpa alasan. Bunda membiarkan dirinya dipukuli karena tidak mau aku yang menjadi gantinya."

Saya mengelus punggungnya, menyalurkan kekuatan. Saya benar-benar baru tahu kalau dia punya kisah yang sangat memilukan selama ini.

"Sejak kepergian bunda, kupikir ayah akan berubah. Ternyata aku salah. Ayah masih selalu pulang dalam keadaan mabuk, dengan wanita-wanita yang berbeda setiap dia pulang," dia tersenyum.






"Jadi, alasan luka yang di bibirmu?"

Senja mengangguk, "Iya, itu karena tamparan ayah. Hampir setiap hari aku dipukulinya. Tidak segan-segan dia menendang, menjambak, meninju, melemparku, bahkan membenturkan kepalaku di dinding. Dia selalu saja menyalahkanku, seakan-akan kesalahan itu tidak akan ada habisnya. Padahal semua itu bukan kesalahanku."

Senja, selama ini dia diperlakukan kasar oleh ayahnya sendiri?

Kemana saya selama ini?







"Hatiku semakin sakit saat tahu kalau bunda telah menyiapkan segalanya untukku. Tahu beliau kan pergi, makanya di sisa terakhir hidupnya beliau bekerja keras banting tulang. Semuanya untukku."

"Kakak tahu apa yang bunda lakukan?" Aku menggeleng.

"Bunda mengumpulkan uang untukku. Semua itu untuk segala kebutuhanku selama dua puluh tahun mendatang. Bunda takut. Bunda takut ayah tidak akan membiayai hidupku, makanya bunda berusaha keras mengumpulkan semua uang itu. Bunda menyuruh aku merahasiakannya dari ayah, agar uang itu cukup untuk segala kebutuhanku," Senja menangis kencang, tubuhnya sampai bergetar.





Saya menariknya dalam pelukan. Membiarkannya menangis dalam dekapan, seraya mengusap lembut kepalanya.

Tubuhnya yang bergetar hebat, tangannya memegangi dadanya yang sesak. Saya semakin mengeratkan pelukan.






"Membutuhkan kakak."

"Membutuhkan untuk apa?"

"Untuk bertahan"

Kini saya tahu alasan perkataannya kala itu.

Hari ini saya bersumpah, tak akan lagi menyakiti hatinya. Saya akan melindungi dia, membuatnya bahagia seakan-akan dia lah manusia yang paling bahagia di muka ini.




Saya, Huang Renjun telah bersumpah.

- huang renjun -

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang