dua belas

172 40 3
                                    

Kukira hadirku akan menjadi hasrat baginya.
Ternyata, aku terlalu menggantung tinggi harapan perihalnya.
Berharap menjadi amerta di hati,
namun hanya mengantarkan pada rasa yang mati.

Entah apa yang tengah kutorehkan,
hingga membentuk tarian hasil pulpen dalam genggaman.
Sebatas rasa yang dituangkan dalam sebait frasa,
dan akhirnya pupus karena menggantungkan asa.


Buku bersampul monokrom itu kututup begitu saja, membiarkan hasil tulisanku tersimpan dengan rapi.

Monokrom, seperti hidupku yang tidak berwarna.
Hm, setidaknya dulu sempat kurasakan warna warni itu, namun hanya sementara.

Setelah ucapan dia padaku, warna warni yang awalnya muncul itu seketika menghilang. Begitu besar pengaruhnya dalam hidupku.




Pukul satu lewat lima belas menit, dan mataku belum saja terlelap. Tak apa, biasanya akan lebih lama lagi.

Entah apa yang kulakukan setiap malam. Hanya duduk termenung di depan jendela kamar, memikirkan berbagai kejahatan yang telah dilakukan dunia kepadaku. Ingin rasanya menghakimi, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku pernah menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi padaku, tapi aku sadar itu tidak ada gunanya. Aku tahu Tuhan ingin mengujiku, tapi bukankah ini semua sudah cukup?

Kembali lagi, pada akhirnya aku akan menjalani pilihan yang selama ini selalu kupilih.

Bertahan.


Tapi aku lelah. Lelah sekali.

Aku seakan-akan sedang berusaha bertahan melindungi diri, dengan batu-batu besar yang dilempar padaku di waktu yang bersamaan.



Aku tidak ingin menyerah. Namun setelah kalimat penuh kebencian yang dilontarkannya beberapa hari yang lalu, untuk apa aku bertahan?

Dia adalah alasanku kuat menjalani hidup selama ini. Tapi dia sudah pergi meninggalkanku. Sudah tidak ada lagi alasan untukku bertahan di dunia ini.

Jadi, apa gunanya?

Bukankah sebaiknya aku menyerah saja?













BRAK!

Aku terlonjak kaget saat pintu kamarku dibuka dengan keras secara tiba-tiba. Kulihat sosok ayah berjalan ke arahku, tak lupa tatapan nyalang yang selalu dia lontarkan setiap melihatku.

Hatiku, kamu harus kuat.


"DASAR ANAK SIALAN!" Tangan besar ayah secepat kilat menarik rambut panjangku.

Sakit sekali.

Apa salahku?


"K-kenapa ayah?" tanyaku sambil memegang tangan ayah yang menjambak rambutku, berusaha agar rasa sakit itu berkurang sedikit.

"KAMU SELALU SAJA MEREPOTKAN SAYA!" Ayah menarik rambutku sekeras mungkin sampai kepalaku serasa mau copot dibuatnya.

Iya, kamu mengganggu. Sangat mengganggu! Kamu sangat merepotkan, saya lelah menghadapimu!

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang