sebelas

155 38 3
                                    

"Sudah?"

Dia mengangguk. Saya tahu dia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menangis di hadapan saya. Saya sempat melihat setetes air matanya yang terjatuh. Tapi saya berusaha seolah tidak peduli. Jujur, saya ingin sekali rasanya menghapus air mata itu.



"Saya harap tidak pernah lagi melihatmu."

Entah kerasukan apa sehingga saya mengatakan kalimat sakral itu. Sebaris kata yang dapat membuat hati seorang gadis di hadapan saya ini remuk, hancur berkeping-keping.

Tidak kuat melihatnya, saya segera pergi dari hadapannya. Saya tahu dia berusaha mati-matian menahan tangisan itu. Saya juga mati-matian menahan untuk menghapus setetes air mata yang menghiasi wajahnya.






Senja, Senja Amerta. Nama yang sangat indah, seperti pemiliknya. Dia gadis yang selama sebulan lebih tengah mengisi hari-hari saya.

Gadis yang selalu mengekori saya dimanapun saya berada, gadis yang selalu melontarkan berbagai kalimat gombalan yang berujung membuat saya bergidik ngeri, gadis yang selalu membuat saya nyaman dengan berbagai pembahasan yang dia ceritakan, seakan topik yang akan kita bicarakan tidak akan ada ujungnya.

Hingga saya sadar, saya terbiasa dengan keberadaannya. Hanya sebulan, waktu yang sesingkat itu. Hadirnya berhasil membuat saya nyaman, membuat detak jantung saya tidak karuan setiap kali melihat sosoknya, membuat pikiran saya dipenuhi olehnya setiap malam.





Saya bingung terhadap diri saya sendiri. Siapa yang saya sukai sebenarnya?

Natha, sosok yang selama ini selalu saya lihat dari kejauhan. Bahagia saat melihatnya tertawa karena senda guraunya dengan sahabat saya sendiri.

Jujur, saya memang menyukainya. Tapi semenjak hadirnya Senja, perasaan suka itu perlahan menghilang. Tergantikan oleh keinginan adanya kehadiran sosok Senja selalu.

Senja hebat, dia berhasil membuat saya seperti ini dalam waktu sebulan.






Namun, semakin lama saya sadar. Menyukai saya hanya akan membuat hati gadis itu sakit.

Saya yang tidak berani mengungkapkan perasaan yang saya miliki untuknya. Nyali saya terlalu kecil. Saya juga tidak tahu apakah perasaan ini benar adanya, atau hanya sebatas sementara.

Dan semakin lama membuat saya seolah tidak peduli terhadapnya, seolah saya tidak mengharapkan hadirnya. Hanya karena keraguan perihal perasaan saya untuknya.

Saya sadar, saya hanya mendatangkan sakit untuknya.





Untuk itu, hari ini saya ingin agar dia menjauhi saya. Saya ingin dia berhenti menyukai saya, agar dia tidak lagi merasakan sakit.

Dada saya sesak saat melihatnya kala itu. Dia berusaha tidak menangis di depan saya. Saya bahkan terkejut dia masih sempat menampilkan senyum indah di bibirnya kala itu.





Jujur, saya sangat terkejut saat dia mengatakan bahwa dia sangat bersyukur sudah mengenal saya. Padahal nyatanya, saya hanya menorehkan luka pada dirinya. Hal apa yang bisa disyukuri?

Saya merasa sangat bersalah, terlebih saat senyuman itu kembali tercetak di wajahnya. Tapi di satu sisi saya tidak ingin membuatnya jatuh terlebih dalam, membuatnya semakin menderita karena menanggung rasa akibat menyukai saya yang ragu perihal perasaan ini.



Maafkan saya, Senja.

- huang renjun -

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang