tiga puluh satu

163 37 2
                                    

Sudah seminggu lebih aku dirawat di rumah sakit setelah sadar dari koma. Kak Renjun benar-benar merawatku bak seorang ibu merawat anaknya. Teman-temannya juga sering datang mengunjungiku, terlebih Kak Haechan. Saat Kak Renjun memiliki urusan, pasti Kak Haechan yang datang menemaniku.

Oh iya, soal ayahku. Kak Renjun tentu saja melaporkannya ke pihak berwajib. Dia meminta maaf kepadaku karena melanggar janjinya.

"Saya minta maaf. Tapi di satu sisi saya sudah tidak tahan lagi. Kesalahannya sudah tidak bisa ditolerir, Senja. Tolong mengerti saya"





Aku mengerti, mungkin memang saatnya ayah mendapatkan hukuman. Dan berita terbaiknya, kemarin ayah datang ke rumah sakit menjengukku. Tentu saja ditemani oleh dua orang polisi.

Sungguh, aku senang sekali rasanya.

Ayah mengusap rambutku, mencium dahiku lembut, meminta maaf sebesar-besarnya kepadaku. Bahkan dia sampai menangis di pelukanku.

Aku sudah memaafkan ayah sejak lama, lagipun aku tidak pernah membencinya. Setelah drama maaf-maafan itu akhirnya ayah pamit, kembali ke jerujinya. Dia juga berterima kasih kepada Kak Renjun yang sudah peduli dan merawatku.




"Maafkan ayah, Senja. Ayah tidak pernah menjadi ayah yang baik untukmu. Maaf juga ayah sudah mengatakan hal yang tidak benar tentang bunda. Selama ini ayah menumpahkan seluruh emosi ayah kepada kalian berdua karena keluarga ayah yang sudah menelantarkan kita. Ayah tahu itu sangat salah, ayah minta maaf."

"Ayah sayang sama kamu. Ayah bangga mempunyai anak sebaik kamu, Senja. Maaf telah menyakitimu dan bundamu"

Aku lega, kuyakin ayah sudah berubah. Selepas kepergiannya, aku pun berakhir menangis tersedu-sedu. Tentu dengan pelukan Kak Renjun yang menenangkanku.






"Kak," panggilku. Saat ini Kak Renjun sedang menyuapiku makan bubur.

"Hm?"

"Aku sudah tahu"

"Tentang apa?"

"Tentang keadaanku"

Kak Renjun langsung menatapku, sedikit terkejut.

"Aku tahu apa yang dikatakan dokter. Aku ga bisa bertahan, kan?"

Kulihat Kak Renjun menatapku sendu, "Engga, saya yakin kamu baik-baik saja" Dia meletakkan bubur itu di nakas.

Aku tersenyum menatapnya, "Kakak ga usah bohong. Jelas-jelas Kak Haechan yang memberitahuku"

Dia mendengus, "Saya menyesal telah meninggalkanmu berdua dengannya"

Aku terkekeh, "Jangan marah ke dia. Justru aku yang memaksanya memberitahuku"

Aku tahu Kak Renjun sengaja tidak memberitahuku. Dia ingin aku bahagia tanpa memperdulikan hidupku yang tidak lama lagi. Padahal selama dia ada di sampingku, aku seakan-akan telah menjadi manusia yang paling bahagia di dunia ini.







Sebenarnya aku tidak takut, pasalnya aku sudah tahu. Ayah yang tega menjual salah satu ginjalku saat aku masih kecil, demi kebutuhannya tentunya.

Aku tidak pernah bercerita bagaimana setiap hari harus menahan lapar. Pola makanku memang tidak pernah teratur. Bahkan biasanya aku harus rela tidak makan berhari-hari. Uang dari bunda memang ada, tapi jika aku pakai untuk makan sehari-hari, kuyakin itu tidak akan cukup.

Lucu, ya?

Jika kutahu hidupku akan berakhir di usia 16 tahun ini, harusnya aku memakai uang persediaan untuk 20 tahun itu.




Setiap hari aku berusaha mati-matian untuk menahan rasa sakit di perutku yang serasa akan membunuhku. Belum lagi hampir setiap hari ayah menendang perut ini. Aku tidak memberitahu siapa pun, terutama Kak Renjun. Sekali lagi aku tidak ingin menyusahkannya.

Pada akhirnya aku tahu, aku akan pergi.

Seperti kata Kak Renjun. Senja itu sifatnya hanya sementara.





"Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya?"

Aku tersenyum kecil, "Kalau aku kasih tahu, mungkin kakak setiap hari akan bolos sekolah karena merawatku."

"Aku tidak masalah akan hal itu"

"Tetap saja, aku akan merasa bersalah"

Kak Renjun menunduk, aku dapat melihat air matanya yang meluncur sempurna.




"Jangan menangis. Aku sudah siap, kok" kataku seraya mengusap air matanya itu.

"Saya yang tidak siap"

"Pada akhirnya kita semua akan pergi, kak"

Kak Renjun menggeleng, dia menggenggam tanganku, "Tapi tidak secepat ini, Senja. Kamu masih berhak hidup."

Sekali lagi aku tersenyum, "Kita tidak pernah tahu rencana-Nya, kan?"

Kak Renjun masih saja menangis.

Aku turun dari ranjangku, menahan rasa sakit yang sedari tadi menjalar di perutku. Aku menarik kepala Kak Renjun yang tertunduk agar masuk ke dalam dekapanku. Mengusap rambut hitamnya yang tebal, mengusap pelan punggungnya.




"Kalau aku pergi nanti, jangan ada tangisan, ya?"

- huang renjun -

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang