sembilan belas

167 35 4
                                    

Berdasarkan alamat yang tadi Kak Haechan berikan, aku tidak mendapati Kak Renjun disana. Kata seorang wanita paruh baya yang kutebak sebagai bibi di rumahnya mengatakan, katanya Kak Renjun pergi dari pagi dan belum pulang sampai sekarang.

Entah kenapa, pikiranku saat ini hanya pantai. Tempat itu. Tempat yang tidak pernah absen Kak Renjun datangj hanya untuk menikmati langit senja.



Tebak? Aku menemukannya.

Dia tengah duduk seperti biasa. Tanpa pikir panjang aku segera menghampirinya.





"Kak?" Dia berbalik, tentu saja terkejut melihat kedatanganku.

Kak Renjun berbeda dari yang terakhir kali kukenal. Tatapannya seperti orang putus asa, tidak ada harapan, layaknya seorang mayat hidup.




"K-kamu kenapa ada disini?" tanyanya terbata. Aku segera menempatkan tubuhku di sampingnya.

"Aku turut berduka," ujarku, dia sedikit tersentak.

"Kamu tahu?" Aku mengangguk.

"Aku khawatir. Katanya kakak sudah tiga hari tidak masuk," ujarku. "Aku saja baru tahu hari ini tentang kabar duka itu."

Kak Renjun mengangguk, "Beliau telah lama sakit, sekitar 1 tahun lalu."

Aku hanya diam, menghargai Kak Renjun. Mungkin dia sedang ingin bercerita.






"Saya baru tahu itu tiga bulan yang lalu. Saya kaget. Saya merasa menjadi anak yang tidak berguna bagi beliau."

Aku dapat merasakan Kak Renjun yang mati-matian menahan air matanya agar tidak turun. Segera aku mengusap pelan bahunya, menyalurkan kekuatan.



"Beliau berharap saya menjadi orang yang sukses kelak, makanya saya belajar dengan tekun. Saya terlalu sibuk dengan pendidikan hingga lupa----

Kulihat Kak Renjun terisak pelan. Dia memegang dadanya yang aku yakini tengah diselimuti oleh rasa sesak.

"Lupa kalau beliau sudah tidak lagi muda. Saya merasa bersalah. Saya merasa---

Dia kembali terisak. Aku memegang tangannya, menggenggamnya dengan erat.




"Saya menjadi anak durhaka. Bisa-bisanya saya melupakan beliau hanya perihal pendidikan."

Aku menarik nafas, "Tapi kakak juga melakukan itu semua demi beliau, bukan? Aku pikir itu tak apa. Beliau pasti senang, beliau tidak akan marah."

"Tapi tetap saja! Saya melupakan ibu saya sendiri! Membiarkannya sendirian melawan rasa sakit yang selama setahun disembunyikan dari saya! Saya----

Air matanya tak bisa lagi dia bendung.




"SAYA TIDAK BERGUNA! SAYA TIDAK PANTAS HIDUP LAGI!" Aku terkejut saat dia berkata seperti itu. Tidak kukira Kak Renjun akan serapuh ini.

"Kakak jangan bilang begitu, ibu kakak pasti senang. Kakak tidak pernah menjadi anak yang tidak berguna baginya," kataku berusaha menguatkannya.

Aku pernah berada di posisinya saat ini.




"SAYA LEBIH BAIK MATI!"

Pertahanan Kak Renjun runtuh saat itu juga di hadapanku. Dia memegangi dadanya, meremasnya dengan kuat. Badannya bergetar hebat. Aku tahu yang dia rasakan.

Segera ku tarik tubuhnya ke dalam dekapanku, mengelus pelan punggungnya, seraya berbisik,




"Menangis saja, tak apa."







Sore itu, di bawah langit senja. Untuk pertama kalinya Renjun menangis di hadapan seorang gadis, membiarkan pertahanannya runtuh begitu saja dalam dekapannya.


- huang renjun -

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang