sepuluh

161 38 4
                                    

"M-maksud kakak? Bukan kah kakak tak apa dengan itu?" aku menatap matanya yang tampak emosi.

Aku takut, tolong.




"Dari awal saya tidak pernah mengharapkan hadirmu! Dari awal saya sudah bilang, kamu mengganggu saya! Kamu masih tidak mengerti?!" bentaknya, aku betul-betul terkejut.

"T-tapi kakak bi---

"Apalagi yang perlu saya jelaskan? Seminggu saya menghindar dan itu tidak cukup membuatmu sadar?!"

Aku takut, sangat takut. Aku menunduk, tidak berani menatapnya.

"Aku mengganggu, ya?" tanyaku, berusaha tetap kuat.

"Iya, kamu mengganggu. Sangat mengganggu! Kamu sangat merepotkan, saya lelah menghadapimu! Saya lelah membiarkanmu mengikuti saya kemana pun, saat saya tahu kalau itu sangat mengganggu! Kamu seperti benalu bagi saya, kamu tahu itu?"

Ah, benalu katanya.





Aku terkekeh, menyadari kebodohanku selama ini. "Aku bodoh, ya."

"Kamu bodoh, kamu tidak tahu diri, kamu cewek murahan. Kamu tahu?" ujarnya lagi, aku masih tidak berani menatapnya.

"Kakak marah karena aku mengatakan kalau Kak Natha tidak akan memilih kakak?" tanyaku, mencoba pelan-pelan menatap matanya.

Bukan lagi tatapan datar yang biasa dia pancarkan untukku, bukan lagi tatapan ramah yang biasa dia pancarkan saat aku berhasil membuatnya nyaman, bukan lagi tatapan tidak suka saat aku terus mengikutinya. Itu, tatapan benci. Ya, dia menatapku dengan kebencian.





Kak Renjun menggeleng, "Kamu kira saya marah karena itu? Bukankah semuanya sudah jelas? Kamu mengganggu, tidak tahu diri. Jangan bawa-bawa Natha dalam masalah ini!"

Aku mengangguk, aku mengerti sekarang. Aku menghela nafas dalam-dalam, segera kubungkukkan diriku dalam-dalam di hadapannya. "Aku minta maaf"

Aku kembali menatap mata Kak Renjun seraya berucap, "Maaf. Aku memang tidak tahu diri, aku memang bagaikan benalu di hidup kakak. Sekali lagi aku bodoh karena tidak peka terhadap sikap kakak yang jelas-jelas tidak menyukaiku, jelas-jelas membenciku, tidak mengharapkan hadirku. Aku sebodoh itu memang."

"Aku mengira kakak akan selalu berada di sisiku. Aku memang tidak mengharapkan kakak akan menyukaiku balik seperti yang pernah kubilang, tapi aku berharap kakak akan selalu berada di sisiku, menemaniku. Hanya menemani, tidak sampai memiliki. Tapi hari ini aku sadar, itu egois," lanjutku.






Aku menarik  nafas dalam-dalam, "Dulu aku pernah mengatakan, aku membutuhkan kakak untuk bertahan. Nyatanya itu benar, jujur aku sangat membutuhkan kakak. Tapi, aku terlalu membutuhkan kakak sampai-sampai aku lupa. Kalau kakak yang tidak membutuhkan kehadiranku."

Aku menunduk sejenak, berusaha menahan mati-matian rasa sesak yang telah memenuhi rongga dadaku sedari tadi. Tidak, aku tidak boleh menangis. Menangis akan membuatku terlihat lemah, aku tidak mau menunjukkan itu di hadapan Kak Renjun.

Kembali kutatap kedua manik mata indah milik Kak Renjun, manik mata yang bersinar, yang kini menatapku dengan tatapan benci.






Aku berusaha tersenyum selebar mungkin, aku harus terlihat kuat di hadapannya. "Tapi aku bersyukur. Aku sangat bersyukur telah mengenal kakak. Aku sangat bersyukur saat kakak datang kepadaku."

Lagi-lagi aku membungkuk di hadapannya, "Terima kasih. Karena kakak, hatiku yang dulu mati, kini hidup kembali. Hatiku yang dulu tak jelas bentuknya, kini kembali seperti sedia kala. Aku kembali merasa bahagia saat aku melihat kakak, aku merasa jengkel setiap kali kakak bodoh dalam hal percintaan, dan aku kembali merasa sedih saat kakak tidak mengharapkan kehadiranku."






Aku tidak ingin menangis, tapi kini kurasakan genangan air mata yang akan siap meluncur kapan saja. "Aku kira tidak akan sesakit ini, tapi aku salah. Hatiku yang kembali hidup kini telah merasakan kembali kesedihan. Dan itu semua berkat kakak."

Aku menggeleng, "Tenang saja, aku tidak menyalahkan kakak. Kakak tidak perlu merasa bersalah. Sekali lagi terima kasih atas semuanya. Aku juga minta maaf telah egois selama ini." Aku kembali membungkuk dalam-dalam, menyembunyikan setetes air mata yang telah meluncur secara sempurna.






"Sudah?" tanyanya, aku mengangguk. Kini aku menunduk sedalam-dalamnya hingga rambut hitamku menjuntai menutupi wajah, menutupi wajahku sendiri.

"Saya harap tidak pernah lagi melihatmu," kata Kak Renjun, lalu aku merasakannya berlalu dari hadapanku.







Seusai kepergiannya, aku kembali duduk di kursi panjang itu. Menghapus beberapa tetes air mata yang menghiasi wajahku.

Ah, sial. Kenapa aku menangis?

Bunda tidak suka hal ini, ayah juga akan memarahiku. Aku tidak boleh menangis, segera kuhapus kasar jejak air mata itu.

Untung saja aku berhasil menahan tangisanku. Setidaknya aku tidak menangis kencang di depan Kak Renjun.




Aku tidak bisa memungkiri rasa sakit yang menggerogoti dadaku, sakit sekali rasanya. Lebih sakit daripada tamparan ayah, lebih sakit daripada tendangan ayah, lebih sakit daripada saat ayah menjambak rambutku, lebih sakit daripada saat ayah membenturkan kepalaku di dinding. Sakit sekali.

Kumohon, seseorang tolong aku.





"Sudahlah, lo berhak bahagia."

Aku berbalik dan mendapati seseorang tengah berdiri di belakangku. Itu Kak Chenle.

Kenapa dia ada di sini?



"Lo gak papa?" tanyanya yang kini ikut duduk di sampingku.

Dia mendengar semuanya?




- huang renjun -

.

dapat feel-nya ga sih?

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang