enam belas

154 36 1
                                    

Pantai.

Sekali lagi dengan bangga aku deklarasikan tempat ini sebagai tempat favoritku.

Aku menyukainya bukan tanpa alasan. Pantai menjadi saksi bisu kesedihan yang selama ini kurasakan. Setiap saat, aku selalu mengunjungi tempat ini.

Ombak disini telah menjadi pendengar atas segala kisah pilu yang ku persembahkan, pasir putihnya yang halus menjadi tempat berpijak untukku menopang tubuh, dan langitnya sebagai pengisi keindahan di saat kuceritakan kisah-kisah perihal beban hidupku yang sungguh menyedihkan.

Mereka semua temanku.



Dulu aku selalu mengunjungi saat malam hari. Pergi diam-diam dari rumah dan bermain disini. Sendiri, namun aku tidak merasa kesepian. Sebab ada mereka yang menemaniku.

Namun sejak kutahu dia menyukai senja dan selalu datang di tempat ini untuk menikmatinya, aku lebih menyukai berkunjung di saat sore hari.

Karenanya aku juga mulai menyukai senja. Senja yang indah dengan perpaduan berbagai warna yang kontras. Perihal langit malam yang begitu kelam kulupakan begitu saja, kini tergantikan dengan langit bernuansa cerah nan indah.

Semua itu karena sosoknya, sang lelaki senja.





Dari kejauhan kulihat dia tengah duduk di hamparan pasir putih tanpa alas kaki. Aku sangat hafal kebiasaannya itu. Dia tidak pernah absen mengunjungi tempat ini, begitupun aku yang tak pernah absen untuk melihatnya.

Jika dulu aku akan berjalan ke arahnya kemudian duduk di sampingnya, kini aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.




Sudah seminggu lamanya kami tidak bercengkrama kembali di tempat ini, di waktu yang sama, menikmati langit senja yang sama.

Terakhir kali kami berbicara saat di kebun bak labirin itu, dengan para ikan yang menjadi saksinya. Dia yang tiba-tiba datang dari belakangku, dan tiba-tiba saja menanyakan perihal goresan di wajahku.

Aku tidak mungkin bilang kalau saat itu ayah sudah memukulku, bukan?

Aku tidak mungkin bilang kalau alasanku absen di sekolah karena ayah mengurungku di rumah.

Aku tidak mungkin bilang kalau selama beberapa hari itu perutku kelaparan.

Aku tidak mungkin bilang kalau aku sangat merindukannya.





Ya, setelah percakapan singkat yang terjadi, kami tidak lagi berkomunikasi. Kak Renjun benar-benar menjauhiku, sama sekali tidak ingin melihatku.

"Mungkin ini terakhir kali saya muncul di hadapanmu, selebihnya hanyalah pertemuan yang tidak disengaja. Sekali lagi saya tekankan, tolong jauhi saya."

Itu kalimat yang terakhir kali dilontarkannya sebelum berjalan meninggalkanku kembali dalam ruang kesendirian.

Aku menurutinya. Memangnya siapa aku ini?

Tapi tenanglah, aku sudah tahu alasan kenapa dia ingin aku menjauh. Sudah kubilang, aku jago perihal tatapan seseorang.




Ah, ingin sekali rasanya aku mendatanginya, duduk di sampingnya, dan bercengkrama seperti dulu.

Tapi aku harus menuruti kemauannya, bukan?

Lagipun, aku ini siapa?


- huang renjun -

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang