dua puluh

169 39 1
                                    

Bulan telah nampak di atas sana, aku masih belum beranjak dari tempat ini. Tentu saja ditemani dengan sosok yang sangat kusukai.

Hmm, cinta..., mungkin?

Sudah lewat satu jam lamanya kami hanya duduk ditemani oleh kesunyian. Aku membiarkan Kak Renjun memperbaiki perasaannya selepas menangis hebat tadi. Aku dapat rasakan seragamku basah akibat tangisannya.

Kak Renjun hanya diam, tidak berbicara sepatah kata pun. Begitu pun denganku. Aku hanya akan menunggunya memulai pembicaraan.





"Kamu kenapa tahu aku ada disini?"

Akhirnya dia memulainya.

"Apa yang tidak aku tahu tentang kakak?" Dia hanya mengangguk.

"Saya malu telah menangis di hadapanmu," katanya. Lucu sekali, seperti anak kecil.

"Tidak apa. Menangis hal yang wajar. Bukan hal yang memalukan kok."

"Tapi tetap saja. Saya seorang lelaki yang menangis di hadapan perempuan. Sungguh memalukan."

Aku hanya terkekeh mendengarnya.






"Kak"

"Hm?"

"Tolong jangan lagi mengatakan hal seperti tadi," kataku.

"Yang mana?"

"Perihal ingin mati, jangan katakan itu lagi"

Jujur, aku sangat takut saat tiba-tiba Kak Renjun mengucapkan kalimat sakral itu.





"Ah, tadi saya hanya terbawa perasaan. Tenang saja. Saya tidak akan berbuat hal sebodoh itu." Aku lega mendengarnya.

"Aku betul-betul takut saat kakak mengucapkan kalimat itu. Aku merasa seperti melihat diriku yang dulu." Aku menunduk, memilih memainkan butiran pasir di hadapanku.

"Maksud kamu?" Kurasakan Kak Renjun tengah menatapku saat ini.

Aku menggeleng pelan, "Ah, tidak. Lupakan. Intinya kakak tidak boleh mengatakan kalimat itu lagi. Kakak tahu, kan? Berapa banyak orang di luar sana yang berdoa agar bisa membuka matanya untuk menjalani hari esok hari? Hanya sekedar bernafas saja susah."

Kak Renjun terkekeh, "Iya iya saya tahu. Maafkan saya."

Hening, tidak ada lagi percakapan.







"Senja"

"Ya?" Aku menatapnya yang tengah menatapku juga kala itu.

"Kamu----

"Iya?"

"Kamu tidak membenci saya?"

Aku mengerutkan kening, "Benci? Untuk apa?"





Kak Renjun menghela nafasnya, "Perkataan saya yang menyakitimu."

"Ohh ituu. Engga. Untuk apa aku benci?"

"Saya kira kamu akan membenci saya karena telah menyakiti perasaanmu."

Aku menghela nafas, "Kakak memang menyakiti perasaanku. Hatiku sangat sakit, tau!"

Kulihat Kak Renjun seperti merasa bersalah.






"Aku bahkan melihat sorot mata kakak yang tidak biasanya."

"Apa yang kamu lihat?" tanyanya.

Aku menengadahkan kepala, memilih menikmati bulan yang sekali lagi sangat indah di atas sana.

"Kakak menatapku dengan penuh kebencian."

"Kalau begitu, kenapa kamu kembali? Kenapa kamu kembali kepada saya? Seharusnya kamu menjauhi saya, membenci saya," ujarnya, aku hanya tersenyum mendengar.

Aku memilih menatapnya, menatap kedua manik matanya yang begitu indah. "Saat itu yang kulihat memang tatapan penuh kebencian. Tapi bukan untukku"

"Maksud kamu?"

Ah, lucu sekali wajah bingungnya itu.






"Aku tidak melihat kebencian untukku, melainkan diri kakak sendiri. Memang saat itu kakak menatapku, tapi tatapan itu tidak ditujukan untukku."

Kak Renjun masih diam dengan wajah bingungnya.

"Kakak benci terhadap diri kakak karena telah melontarkan kalimat-kalimat horor itu kepadaku, bukan?"

Kak Renjun nampak terkejut, "K-kok kamu?"





"Hey, sudah kubilang aku ini jago soal menilai tatapan. Kakak tidak bisa berbohong padaku," aku terkekeh.

"Aku tahu kakak menyuruhku menjauh karena tak ingin aku merasakan sakit yang lebih dalam, bukan? Awalnya kukira kakak benar-benar membenciku, sampai ingin mati rasanya, tau! Jika benar begitu aku bisa bunuh diri," aku tertawa.

"Tapi setelah aku renungkan lagi selama tujuh hari tujuh malam, kupikir kakak bermaksud lain. Kak Renjun yang kutahu tidak akan membenci seseorang. Dia mempunyai hati yang baik bak malaikat," aku tersenyum menatapnya.

"Ngaco kamu" Aku terkekeh mendengar responnya




"Tapi aku sungguh. Makanya meskipun kakak telah mengatakan hal itu, aku selalu memperhatikan kakak. Aku bukannya menjauh, hanya menjaga jarak. Karena itu yang kakak inginkan. Makanya aku menurut," jelasku.





"Makanya, kumohon. Jangan lagi berkata seperti itu, jangan lagi membenci diri kakak sendiri. Oke?" Tanpa sadar aku menggegam tangannya.

Kak Renjun diam, hanya menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan.

Dia menghela nafas, "Sepertinya saya memang tidak bisa berbohong di hadapanmu."

Aku terkekeh.



"Maafkan saya, Senja," ujarnya.








Kuharap aku benar-benar menjadi senja yang selalu dia sambut kehadirannya.

- huang renjun -

perihal senja, renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang