Chapter 9 : Kabur

103 18 3
                                    


Jalanan semakin gelap dan Plan tidak tahu dia mau pergi kemana. Ponsel juga tidak ia bawa, kakinya sudah lelah untuk melangkah lebih jauh lagi. Plan tidak tahu jam berapa sekarang dan dimana ia sekarang berada. Karena capek Plan akhirnya mendudukkan diri di trotoar, sembari berharap ada kendaraan lewat yang mau mengangkutnya pulang ke rumah. Tetapi bisa Plan lihat tidak ada kendaraan yang lewat di jalanan besar tersebut.

Plan menelungkupkan kepalanya, bagaimana bisa ia seceroboh dan sebodoh ini. Ia tak tahu apa yang ada dipikirannya, sehingga memutuskan untuk pergi meninggalkan Mean di restoran tanpa berkata apapun. Sekarang bukannya ia yang meninggalkan Mean tapi Mean lah yang akan meninggalkannya pulang. Rasanya Plan ingin menangis saja. Plan berdiri dari tempatnya duduk untuk berjalan mendekati pembatas trotoar dengan tebing pantai.

Apa aku meloncat saja untuk menghindari Mean? Plan menggeleng tidak setuju. Orang tuanya sudah mengorbankan nyawa mereka, ia tidak mau perjuangan Ibu Han menyelamatkannya sia-sia. Ia masih ingin hidup walaupun tidak memiliki tujuan. Dan berakhir dengan Plan menumpukan tangannya pada pembatas tebing.

"Apa kau mau bunuh diri?" Plan segera memalingkan mukanya ke sumber suara. Bisa ia lihat dari tempatnya beridiri Mean sedang bersender pada mobilnya.

"Kau yang bilang tidak mau kutinggal, tapi kau yang pergi duluan" Mean berdecih, sementara Plan menundukkan kepalanya malu karena kepergok kabur.

"Ayo"

"Kemana lagi?" Plan memberengut tak senang, ia tak mau lagi diajak ke hotel. Ia sangat malas untuk berinteraksi dengan Mean lebih lama lagi.

"Pulang"

Plan memasang mata berbinarnya mendengar kata pulang yang keluar dari bibir Mean. Tetapi ia teringat dengan barangnya yang tertinggal di Hotel, telunjuknya menunjuk jalan yang sebelumnya ia lewati dengan tujuan mengingatkan tempat hotel yang mereka tinggalkan.

"Barangmu sudah kukemas. Kita bisa langsung pulang" Setelah berkata demikian Mean masuk ke dalam mobilnya tanpa menunggu jawaban dari Plan. Plan mengangguk sekilas lalu ikut masuk kedalam mobil Mean.

"Dimana sepatu mu?" Mean melirik kaki Plan yang hanya berbalut kaos kaki hitam heran.

"Maaf aku meninggalkannya di jalanan karena berat" Plan memainkan jemarinya gugup. "Aku akan menggantinya Yang Mulia, dan baju ini akan kukembalikan setelah aku cuci"

"Tidak usah, aku berikan itu padamu" Dan begitulah percakapan mereka berakhir sampai mobil membawa mereka kedepan rumah Plan.

Astaga sudah malam sekali, begitu pikir Plan. Plan membuka pintu mobil untuk keluar, tidak lupa dengan barang bawaannya.

"Mmm, Yang Mulia aku minta maaf dan terima kasih" Tidak lupa Plan membubuhi kalimat terima kasihnya dengan senyuman tipis. Yang entah mengapa membuat Mean membalasnya dengan senyuman tipis dan juga anggukan. Mean melajukan mobilnya setelah Plan menutup pintu mobilnya dan masuk kedalam rumahnya yang sudah menyalakan lampu taman. Lampu di ruang tamu rumahnya sudah mati yang menandakan penghuninya sudah tertidur pulas.

Bisa Plan lihat jam dindingnya sudah menunjukkan pukul 1 pagi dini hari membuat Plan meringis. Bisa mati dia kalau ketahuan pulang jam segini.

Plan masuk kedalam kamarnya dengan sangat hati-hati. Ia menghidupkan lampu kamarnya untuk memberikan sedikit penerangan. Bukannya menghela nafas lega, Plan malah disambut dengan keterkejutan, bagaimana tidak, Perth yang duduk di kursi kamarnya mengagetkannya.

"Perth kau masih bangun" Plan menurunkan volume suaranya sehingg hanya Perth yang bisa mendengar suaranya.

"Menurutmu?" Perth bersidekap dada dengan pandangan seolah meminta penjelasan pada Plan atas kepulangannya di pagi dini hari tersebut.

Be My Husband [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang