26. Satu Syarat

2.3K 486 700
                                        

Siap untuk lanjut membaca cerita tentang Regan dan Vanya?

Absen sesuai jam waktu kalian baca cerita ini, yuk!

Siap untuk ramaikan komentar setiap paragraf di chapter ini? Selamat membaca ❤️

“Cowok nggak brengsek, tuh, dari segi mananya, sih? Mereka, tuh, sama aja. Cuma mandang fisik, sukanya mainin perasaan cewek, egois, terus kalau bosen mereka pergi seenak jidat. Kayak gitu yang lo bilang nggak brengsek?”

 Kayak gitu yang lo bilang nggak brengsek?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JAM istirahat sudah berbunyi. Vanya dengan cepat meletakkan buku pelajarannya di kolong meja, lalu segera bergegas berjalan menuju kantin.
Gita yang masih menyalin materi yang ada di papan tulis ke dalam buku catatannya menatap Vanya yang sudah terlebih dahulu pergi. “Nya, sebentar! Gue mau cerita! Penting!”

Vanya menoleh sejenak. “Apa? Bahasan lo pasti nggak jauh-jauh dari Gara, kan? Nanti aja ya, Git. Gue udah janjian sama Alister ke kantin!”

Gita berdecak kesal. “Bukan, ini bukan tentang Kak Gara! Ini beneran penting! Tungguin dong!”

“Nanti aja lah, Git,” kata Vanya yang tetap terus berjalan menuju kantin. Ia menghampiri Alister yang sudah terlebih dahulu duduk menunggunya.

Vanya menatap bingung Alister yang duduk sendirian, sedangkan teman-temannya yang lain duduk di kios kantin yang berbeda. Setelahnya, gadis itu duduk di samping Alister. “Tumben banget nggak bareng temen-temen lo yang lain?”

Alister menggelengkan kepalanya. “Nggak papa, lo mau makan apa?”

Vanya berpikir sejenak tentang makanan apa yang akan ia makan, tetapi gadis itu tidak merasa lapar, sehingga ia menggelengkan kepalanya. “Nggak usah, deh, gue nggak laper. Mau minum aja.”

Akhirnya, ia berjalan mengambil dua minuman kaleng. Ia memberikan satu kaleng minuman tersebut pada Alister. “Nih, buat lo.”

Vanya bingung karena seluruh murid SMA Dandelion yang ada di kantin tampak menatapnya dengan tatapan yang berbeda dan terlihat tengah membicarakannya, membuat Vanya menarik napas sejenak.

“Kenapa sih lo semua lihatin gue? Kantin itu tempat buat makan, bukan buat ngomongin orang! Gue sumpahin lo semua kena azab karena kebanyakan ngomongin orang!” sentak Vanya yang membuat mata yang semula menatapnya, kini mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Gadis itu menoleh ke arah Alister. Ia memperhatikan wajah Alister yang tampak terluka. Vanya memegang wajah lelaki itu, membuatnya meringis. “Nya, sakit!”

“Muka lo kenapa? Berantem lo ya?”

Alister terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. “Enggak, nggak papa.”

Vanya mengangguk, lalu menatap Alister dan melemparkan pertanyaan, “Al, lo kemarin malam ke mana?”

Lelaki itu menggaruk belakang kepalanya yang sebenernya tidak gatal. “Gue ketemu temen kemarin.”

UWUPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang