"Emangnya bisa disebut sayang kalau cuma satu orang yang berjuang?"
Vanya muak sama semua cewek yang seakan rela diperbudak oleh cinta. Seakan rela disakiti atas nama cinta. Padahal, menurut Vanya itu bukan cinta, tapi bodoh. Menurut Vanya, semua co...
Siap untuk lanjut membaca cerita tentang Regan dan Vanya?
Siap untuk ramaikan komentar setiap paragraf di chapter ini? Selamat membaca ❤️
Tentang senyumnya, yang selalu berhasil menghapuskan luka.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
VANYA menghela napas sejenak sambil memandangi wajah Regan. Wajah gadis itu terlihat jelas jika dirinya sedang berpikir. “Gimana ya, Gan? Sebenernya gue, tuh, masih kesel, sih, sama lo. Tapi, gue pernah bilang kalo misalnya gue nggak akan nolak kalo lo nembak gue. Jadi, gue nggak mau ingkar janji.”
Vanya tersenyum sambil menyentuh punggung tangan Regan. “Gue mau, kok, kalo kita pacaran.”
Akan tetapi, reaksi Regan sungguh berbeda dari apa yang Vanya harapkan. Lelaki itu menepis tangan Vanya yang menyentuh punggung tangannya. “Siapa juga yang nembak lo? Geer.”
“Terus tadi lo ngomong apa?” tanya Vanya tak terima, Regan memang benar-benar menyebalkan.
“Lo itu tadi nembak gue, Regan! Kenapa, sih, gengsi banget buat ngakuin?”
Regan menggeleng. “Gue nggak nembak, gue cuma nanya. Lagian, siapa juga yang mau jadi pacar lo?” tanya Regan ketus, membuat Vanya mengepalkan tangannya dan menatap Regan dengan penuh kekesalan.
“Dasar manusia kulkas ngeselin! Nggak jelas banget, sih! Kenapa lo nggak mau jadi pacar gue, sih? Emangnya gue kurang apa? Kurang cantik? Kurang putih? Kurang apa? Cepetan bilang!” dumel Vanya.
“Kurang-kurangin marah-marah, mendingan sekarang lo habisin makanan lo, terus kita pulang.”
Daripada terus menerus berdebat dengan Regan tanpa henti, Vanya akhirnya kembali menyantap makanan yang ada di hadapannya sambil menatap Regan dengan kesal.
Setelah hampir lima belas menit, akhirnya Vanya dan Regan menghabiskan makanan yang sebelumnya mereka pesan. Setelahnya, Regan membayar sejumlah uang untuk makanan mereka.
Vanya menatap Regan. “Regan, nggak mau dibayarin! Pokoknya, gue mau bayar sendiri!”
“Berisik,” sahut Regan, lalu meninggalkan kasir dan berjalan menuju parkiran kafe tersebut, membuat Vanya berdecak kesal lagi.
“Regan, lo, tuh, nyebelin banget tahu nggak? Kenapa, sih, sukanya ninggalin orang yang lagi ngomong? Kenapa, sih, sukanya ngacangin orang? Lo mau nanti mati keselek kacang gara-gara keseringan ngacangin orang? Nggak mau, kan?” dumel Vanya.
Regan menghentikan langkahnya dan menatap Vanya yang ada di belakangnya. Gadis itu pun berjalan untuk menyesuaikan posisinya dengan Regan.
Tanpa Vanya duga, tangan Regan mengusap puncak kepalanya dengan lembut. “Nggak usah marah-marah terus, nanti cantiknya hilang. Ayo pulang,” kata Regan sambil menarik tangan Vanya, tetapi kali ini tidak kasar, ia menarik tangan Vanya dengan lembut.