"Emangnya bisa disebut sayang kalau cuma satu orang yang berjuang?"
Vanya muak sama semua cewek yang seakan rela diperbudak oleh cinta. Seakan rela disakiti atas nama cinta. Padahal, menurut Vanya itu bukan cinta, tapi bodoh. Menurut Vanya, semua co...
Siapa yang enggak sabar buat baca UWUPHOBIA chapter ini?
Siap untuk ramaikan komentar setiap paragraf di chapter ini? ❤️
“Buat apa mertahanin hubungan yang cuma nyakitin aja?”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SOSOK itu menatap Vanya tajam. “Mau apa kamu? Nggak usah ikut campur!”
Vanya menatapnya penuh emosi. Ia berdiri dan menatapnya dengan tegas. “Vanya nggak akan ikut campur kalo misalnya Papa nggak terus-terusan kasar sama Mama! Papa pikir karena Mama perempuan dan Papa jadi bisa seenaknya aja sama Mama?”
Cahyo—papanya tertawa sinis mendengar perkataan Vanya. “Papa nggak akan kasar kalo Mama kamu nggak terus-terusan berulah! Kamu pikir sebelum kamu bela dia, Vanya! Ibu macam apa yang pergi dari rumah dan ninggalin suami dan anaknya berhari-hari?”
Vanya menatap papanya sinis. “Mama itu sosok Ibu yang sayang dan tulus sama Vanya. Papa pikir aja sendiri, perempuan mana yang nggak akan kabur kalau setiap hari selalu dikasarin? Papa yang selama ini nggak punya hati, nggak punya otak!” Vanya berteriak.
Mamanya menghampiri Vanya dan memegang bahu Vanya. “Udah, Nya, udah, Mama nggak papa.”
“Emangnya siapa sih, Pa, yang suka nggak pulang berhari-hari? Sekalinya pulang terus Papa marah-marah, kasar sama Mama! Papa pernah mikir nggak gimana perasaan Mama?” Vanya terus menatap papanya dengan tajam.
Sosok itu menatap Vanya penuh amarah, ia mencengkram dagu Vanya kuat-kuat dan mendorong putrinya itu ke tembok dengan kasar.
“Mas, udah dong, Mas. Kamu nggak papa kasar sama aku, tapi jangan sama Vanya!” Mama Vanya mencoba untuk menahan suaminya, tetapi pria paruh baya itu terus mendesak Vanya.
Ia mencengkram dagu Vanya dengan kuat. “Lo itu anak kecil! Nggak ngerti apa-apa! Jadi, nggak usah sok ikut campur!”
Vanya menepis tangan papanya yang mencengkram dagunya dengan kasar. “Tapi Vanya tahu siapa yang pantes Vanya bela! Siapa yang bener dan siapa yang salah!” Vanya kembali berteriak.
“Papa belum puas ya nyakitin Mama? Setiap hari Mama nangis, tertekan, karena siapa? Ya, karena Papa! Belum puas Papa kasarin Mama? Belum puas ya?” teriak Vanya dengan emosi.
Plak.
Sebuah tangan kokoh menampar pipi Vanya dengan kuat, sehingga sudut bibir mungil Vanya tampak berdarah. “Jaga ya mulut lo! Dasar anak nggak tahu sopan santun!”
“Buat apa sopan sama orang yang bahkan sama sekali nggak punya perasaan?” teriak Vanya, membuat papanya mengambil sebuah guci yang terletak di atas meja.