8. In the Silence

2.6K 579 490
                                    

Siap untuk ramaikan komentar setiap paragraf di chapter ini? Selamat membaca ❤️

“Buat apa gue capek-capek ngobatin lo kalau lo justru ngasih luka baru buat gue?”

***

SEMALAM sudah berlalu. Kini, hari sudah pagi. Matahari pun sudah mulai menunjukkan sinarnya kepada dunia.

Vanya baru selesai mandi dan ingin segera pergi ke sekolah. Ia menatap dirinya di depan cermin dan memberikan beberapa sentuhan make up di wajahnya.

Ia mencoba tersenyum di depan cerminnya, ia mengambil concealer dan memakaikannya di bawah mata untuk menutupi matanya yang sembap karena semalaman gadis itu menangis.

Vanya menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Ia kembali tersenyum menatap cermin. “Lo kuat, Nya. Lo nggak lemah! Lo harus buktiin sama dunia kalo lo kuat!”

Seseorang mengetuk pintu kamar Vanya, membuat Vanya berdiri dan berjalan untuk membuka pintunya. Ternyata, itu adalah Tante Rima. “Nya, harus ada produk yang kamu review di Instagram pagi ini. Produk makanan buat sarapan gitu sih, Nya.”

Vanya menatap makanan itu dengan tidak selera. “Vanya lagi enggak mau makan, Tan.”

“Nya, ini bukan masalah kamu mau sarapan atau enggak. Ini tuh urusan kerjaan yang udah jadi tanggung jawab kamu. Pokoknya Tante enggak mau tahu, kamu harus review makanan ini,” paksa Tante Rima. Vanya menghela napas berat, ia menatap Tante Rima dengan tatapannya yang sendu.

“Tan, tapi, kan—” kata Vanya terpotong.

Tante Rima menatapnya tegas. “Nya, kamu ini selebgram. Selebgram itu sama aja kayak public figure. Kamu itu harus bisa profesional dan selalu keliatan bahagia di depan orang-orang.”

“Buat apa sih, Tan, mikirin orang lain, tapi nggak peduli sama diri sendiri? Emangnya kalau artis, selebgram harus selalu bahagia? Nggak boleh nangis? Nggak boleh sedih?”

“Vanya juga manusia, Tante.”

“Tante nggak mau tahu, Nya.” Tante Rima lalu bergegas pergi meninggalkan Vanya. Akhirnya, Vanya mengambil makanan itu lalu menyalakan kamera ponselnya.

Setelah itu, Vanya bergegas masuk ke dalam mobilnya lalu segera mengendarainya untuk segera ke sekolah.

Sebenarnya Vanya muak dengan semuanya. Muak dengan terus-menerus pura-pura harus selalu terlihat baik-baik saja.

Muak dengan tetap terlihat tegar di depan semua orang. Padahal, sebenarnya Vanya rapuh. Akan tetapi, tidak ada yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya kecuali Gita dan Yori.

Ada yang mencoba menutup lukanya rapat-rapat dan bersembunyi di balik topeng ketegaran yang ditunjukkan pada banyak orang.

Vanya terus mengendarai mobilnya. Tanpa sadar, setetes air mata mengalir di pipinya. Ia berteriak sekencang-kencangnya lalu memukul stir mobilnya dan berhenti sejenak.

“Gue capek!”

“Kenapa sih dunia nggak pernah adil buat gue?”

***

Jam pelajaran pertama sudah dimulai, tetapi menyebalkan. Mengapa Vanya pagi-pagi harus sudah menghadapi pelajaran Matematika? Vanya sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dijelaskan oleh gurunya.

“Ibu, saya izin ke toilet ya?” kata Vanya meminta izin. Guru Vanya mengizinkan Vanya dengan menganggukan kepalanya.

Vanya hendak berjalan menuju toilet wanita, tetapi matanya tertuju ke arah seorang lelaki yang tengah berjalan dengan tas yang masih ada di belakangnya. Vanya memicingkan matanya, memastikan siapa sosok tersebut.

UWUPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang