Siap untuk lanjut membaca cerita tentang Regan dan Vanya?
Absen sesuai asal kota kalian, yuk!
Siap untuk ramaikan komentar setiap paragraf di chapter ini? Selamat membaca ❤️
“Dunia terlalu luas kalo cuma dipandang dari satu sudut pandang.”
REGAN masih menatap Vanya dengan lekat. Vanya menghela napas panjang. “Iya, apa syaratnya, Gan? Kalo ditanya jawab, kek, jangan malah ngelihatin gue. Gue tau, kok, kalo gue cantik.”
Regan menarik pergelangan tangan Vanya dari koridor tersebut. “Ikut gue!”
Vanya berdecak kesal, ia mencoba untuk melepaskan tangan Regan yang menarik tangannya. “Gan, kenapa malah narik-narik tangan gue, sih? Cepetan bilang syaratnya apa?”
Regan berhenti berjalan, lalu menatap Vanya yang sedari tadi tidak berhenti untuk berbicara. “Ikut gue, Vanya. Ngerti?”
“Galak banget, sih, jadi cowok. Nanti cepet tua baru tau rasa!” dumel Vanya sambil menatap Regan dengan malas. Lelaki itu kembali berjalan dan Vanya mengikutinya. Mereka berjalan menuju koridor parkir dan menghampiri motor milik Regan yang berada di tengah-tengah koridor parkir. Setelahnya, Vanya disuruh Regan untuk menaiki motornya.
Motor Regan pun berjalan meninggalkan koridor SMA Dandelion. Berjalan melintasi jalanan Ibu Kota di sore hari. Matahari yang semula begitu terang menerangi bumi, kini dengan perlahan terlihat akan terbenam. Langit yang semula berwarna biru, kini perlahan-lahan berubah warna menjadi oranye.
Vanya hanya mengikuti Regan, tanpa tahu Regan akan membawanya ke mana.
“Gan,” kata Vanya memecah keheningan yang terjadi antara dirinya dan Regan. Tanpa menjawab, Regan hanya menatap Vanya dari kaca spion motornya.
“Kenapa harus berantem sama Alister, sih? Lo semua, kan, udah deket banget. Masa iya, sekarang harus berantem, sih? Walaupun Alister emang salah, tapi harusnya lo nggak usah sampai marah segitunya sama dia. Lagian, kenapa, sih, kayaknya khawatir banget sama gue?”
“Nggak usah kepedean,” sahut Regan dengan nada yang terdengar nyelekit, membuat Vanya kembali mendengus kesal.
“Dasar manusia kebanyakan gengsi, makan aja tuh gengsi sampai kenyang,” dumel Vanya dengan memelankan suaranya, tetapi sepertinya suara Vanya masih bisa terdengar oleh Regan. “Apa?”
Vanya menggelengkan kepalanya. “Enggak, emangnya gue ngomong apa?”
Setelah itu, hampir 15 menit tidak ada satu pun dari mereka yang saling bicara, membuat Vanya menarik napas karena lelah. “Capek ya sama cowok kulkas kayak lo. Ngomong gitu, kek, atau apa pun biar nggak diem aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
UWUPHOBIA
Novela Juvenil"Emangnya bisa disebut sayang kalau cuma satu orang yang berjuang?" Vanya muak sama semua cewek yang seakan rela diperbudak oleh cinta. Seakan rela disakiti atas nama cinta. Padahal, menurut Vanya itu bukan cinta, tapi bodoh. Menurut Vanya, semua co...