Chapter 14

21 5 0
                                    

Aku tak tahu apa yang akan ia lakukan. Semoga apa yang ia temui dari dua orang rekan kerjanya tadi, cukup membuatnya menyadari sosok Theo yang sedang ditunggunya.

Banyak waktu yang dihabiskannya dengan termenung sepanjang pagi ini. Pekerjaannya nyaris terbengkalai, dan teman sebelah kubikelnya mesti menengok ia berkali-kali untuk memastikan kalau ia tidak tenggelam dalam lamunan-lamunan tersebut.

Menjelang jam makan siang, ia belum juga beranjak dari duduknya. Perempuan itu mencoleknya dan mengajak ia pergi ke luar. "Kalau enggak makan, nanti sakit loh." Temannya mengingatkan.

Dengan ogah-ogahan ia melangkah juga. Mengekori temannya di belakang. Sementara aku tetap berada di sisinya. Di kantin, ia menyuapkan makanan dengan tidak semangat. Temannya mau tak mau bertanya juga.

Dan percakapan itu bergulir seperti curhat yang sudah lama tidak ditumpahkan. Jam istirahat makan siang yang hanya satu jam, sudah terpakai setengahnya untuk menuangkan isi pikiran dan hatinya. Ia menceritakan apa yang menjadi tanda tanyanya, apa yang ia harapkan dari Theo, sampai apa yang baru saja ia temukan dari mentor lelaki itu.

Namun semua berujung pada satu kesimpulan yang membuat perempuan di hadapannya geleng-geleng kepala.

"Gue belum mau percaya kalau aku belum membuktikannya sendiri." Begitu yang Kalita katakan. Dan aku hanya bisa menatapnya bingung. Tidakkah cukup semua yang ia dengar dan lihat hari ini? Tidak cukupkah aku mengatakan yang sebenarnya kepadanya?

* * *

"Aku tak ingin membuatmu kecewa. Namun kau sudah tahu seperti apa mereka," komentar Abner saat aku berjalan-jalan di seputaran kantin. Menunggu ia yang masih saja curhat pada temannya.

"Mereka punya akal pikiran. Kenapa tidak menggunakannya?" tanyaku. Mempertanyakan keyakinan Kalita tentang lelaki itu.

"Kau lupa, mereka juga punya perasaan? Emosi yang membuat akal sehat mereka kabur. Terkadang, tindakan mereka dipengaruhi oleh perasaan tersebut, sehingga mereka memutuskan hal yang salah."

"Aku harus memberi tahunya."

"Kau sudah melakukannya."

"Ia harus diberi tahu lagi. Aku tak bisa membiarkan ia melakukan kesalahan."

"Kau jadi sangat peduli pada mereka sekarang?"

"Tidak." Aku menggeleng. "Aku peduli padanya."

* * *

"Lho, Anda lagi? Mau ngapain, sih?"

Ia terkejut mendapati kehadiranku di koridor gedung ini. Kalita baru saja kembali dari pantry dengan segelas teh hangat. Tuhan mengizinkanku memperlihatkan diri di hadapannya hari ini. Dan sudah kukatakan kepada Abner bahwa aku tak akan berhenti sampai Kalita menyadari bahwa yang ia pikirkan tentang Theo adalah sebuah kekeliruan.

"Aku mau kamu percaya," jawabku. Masih berdiri persis di hadapannya.

"Percaya apa lagi?" Ia menghardik dengan tidak bersahabat.

"Theo sudah mencuri informasi darimu tentang kantor ini. Dia penipu. Dia bekerja di perusahaan lain. Dia tidak suka padamu. Dia pura-pura suka."

"Saya enggak ngerti lagi sama cerita-cerita yang Anda bikin. Tolong pergi. Saya bisa cari tahu sendiri tentang Theo." Ia menghindariku. Melanjutkan langkah untuk kembali ke ruang kerjanya.

"Aku tahu segalanya."

"No. Anda orang aneh. Dan saya enggak kenal Anda!"

"Aku tahu kamu sejak lama. Aku sudah menjagamu sejak kecil. Aku tahu Theo bagaimana. Kamu sebaiknya tidak perlu menunggu Theo lagi."

"Sudah ya. Tolong jangan ikuti saya lagi. Atau saya panggil satpam untuk mengusir Anda."

Kalita mendorong pintu ruangan departemennya. Setengah berlari ia bersembunyi di balik kubikelnya. Aku mengikutinya. Aku tak akan beranjak dari sisinya. Ia harus percaya padaku.

"Kalita," panggilku.

Kalita langsung berdiri sambil mengangkat pesawat interkom. Jarinya menyentuh tombol yang menghubungkan pos petugas keamanan di bawah.

"Kal, who is he?" Teman sebelah kubikelnya bertanya.

"The crazy guy I told you."

Temannya menghampiriku sekaligus berusaha melindungi Kalita di balik tubuhnya. "Mas, kalau mau nge-prank jangan serius-serius amat. Teman saya takut nih."

"Kalita," panggilku lagi.

"Mas. Sudah, Mas!" Ia berusaha menghardikku.

"Kalita, aku hanya melindungimu dari orang jahat. Itu tugasku," ujarku kembali, masih mengekori mereka.

"Go away!" Kalita meneriakiku. Ia menekan interkom dan menghubungi petugas keamanan juga akhirnya.

Beberapa orang yang semula hanya duduk dan diam di kubikel, kini ikut berdiri dan mengambil peran. Mereka beramai-ramai menghampiriku dan memintaku pergi.

Aku terdesak dan didorong paksa keluar ruangan ini. Aku masih menunggu ia mengatakan bahwa dirinya percaya padaku. Namun ia tak bergeming. Wajahnya dipenuhi rasa takut dan kebingungan.

Di ambang pintu, aku bicara keras padanya. Atau bisa jadi orang-orang mendengarnya sebagai teriakan.

"Kamu menggambar sepasang sayap di buku harianmu..."

Hanya itu yang sempat kukatakan kepadanya. Sebelum pintu itu tertutup rapat.

* * *

"Kau belum menyerah rupanya."

Abner menemaniku yang duduk sendirian di bawah sebuah pohon besar yang berada di tepi lapangan rumput, di halaman belakang gedung kantor ini.

"Aku hanya punya kesempatan hari ini, Abner. Tuhan berbaik hati kepadaku untuk memberikan kesempatan ini."

"Bagaimana jika pendiriannya tak pernah berubah?"

"Bagaimana jika akhirnya ia berubah?"

Abner mengulas senyum kecil. "Kau tidak hanya berusaha menjaganya, Gasparo. Tapi kau berusaha mengontrol tindakannya."

"Tidak Abner. Jika ia jatuh lagi kali ini. Maka itu artinya aku telah gagal dalam tugasku."

"Tuhan tidak akan menyalahkanmu."

"Aku menyalahkan diriku sendiri."

"Kau belajar tentang benar dan salah sekarang?"

Abner menoleh ke arah gedung di hadapan kami. Semilir angin bertiup. Orang-orang yang tengah bekerja di balik dinding kaca tersebut terlihat jelas dari bawah sini.

"Ini yang selalu kukatakan kepada malaikat-malaikat lainnya. Tidak ada benar atau salah dalam hidup kita. Kita semua mengemban tugas, dan hanya itu yang bisa kita jalankan. Kita tidak seperti mereka, Gasparo." Pandangan Abner masih tertuju pada orang-orang di dalam gedung sana. "Mereka tidak hanya menjalankan tugas. Mereka... punya kebebasan dalam menentukan. Itulah yang mereka pelajari sebagai benar atau salah. Dan kau tahu, Gasparo? Kita tidak pernah berada di antaranya, atau pada salah satunya."

Abner bangkit dari duduknya. Cahaya matahari yang berada di balik punggungnya membuat ia tampak sebagai siluet manusia bersayap. Ia merentangkan sayap kokohnya itu, bersiap pergi.

"Ia akan turun sebentar lagi. Ingat Gasparo, kita tak punya pilihan. Tetapi jika kau ingin membuatnya. Kau harus membuat sesuatu seperti apa yang Tuhan inginkan darimu."

Kepakan sayap itu begitu kuat hingga terdengar bagai gelombang angin yang bertiup kencang. Abner pergi, menyusuri sisi lain bumi untuk melanjutkan tugasnya.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang