Chapter 18

22 5 0
                                    

Ia terbangun ketika matahari sudah melangkah jauh dari pagi.

Nyaris melonjak dari tempat tidurnya, ia berlari cepat ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Pakaian di dalam lemari dipilihnya secara acak. Ia mengambil permen karet dari wadah keranjang rotan serta tas kerja yang biasa digunakannya.

"Kok aku enggak dibangunin?" protesnya saat melihat ayahnya siap berangkat kerja dengan diantar sang ibu.

"Mama sudah panggil kamu beberapa kali," jawab ibunya, tak berbohong.

"Papa juga sudah ketuk pintu kamar kamu. Kamu enggak bangun. Waktu Papa intip, kamu masih pulas sekali." Ayahnya menambahkan.

"Aku terlambat ngantor nih."

"Sesekali enggak apa-apa. Kamu kan selama ini sudah jadi karyawan teladan di sana." Ibunya tak bermaksud mengajari Kalita membuat alasan. Namun mereka benar-benar tak tega membangunkan Kalita yang benar-benar jatuh terlelap.

"Mumpung Papa belum berangkat, Papa antar sekalian ya." Ayahnya menawarkan bantuan dan ia langsung setuju.

"Kebetulan Mama sudah siapkan bekal, bisa dimakan di jalan."

Ia yang wajahnya semula kesal, kini mengendur dan mengulas senyum kecil sebagai ungkapan terima kasih kepada kedua orangtuanya.

"Ayo." Ayahnya melirik arloji di pergelangan tangannya. "Katanya sudah terlambat," lanjutnya, sambil berlalu ke mobil.

* * *

"Oversleep?" Maria hanya bertanya begitu. Biasanya dirinya yang datang lebih telat dari Kalita. Namun hari ini, ia sudah siap di depan komputernya sementara Kalita baru muncul setengah jam kemudian.

"Iya. Enggak tahu. Pulas banget," jawab Kalita, masih saja tergesa-gesa meletakkan barang-barangnya di meja. Padahal, ia sudah sampai di kantor.

"Kemarin kurang tidur mungkin." Sambil mengomentari, Maria meletakkan beberapa butir permen kopi di meja Kalita.

"Thank you. Nyenyak aja semalam. Finally. Thank God."

Maria menatap Kalita dengan seksama. Selama beberapa detik pandangannya tak bergeser sedikitpun. Hingga Kalita menyadarinya dan balas menatap balik.

"What's wrong?"

"Nope. Gue senang saja dengarnya. Akhirnya lo bisa tidur nyenyak juga."

"Everything in this world will gone. Dan segala sesuatu enggak ada yang terjadi selamanya, kan? Di momen itu kita hancur, tetapi di momen berikutnya kita akan bangkit."

Kalita menjelaskan panjang. Maria sampai menopangkan dagunya ketika mendengar apa yang Kalita sampaikan. Sedang aku ikut-ikutan bertopang dagu, bersandar pada dinding kubikel.

"Sudah?" tanya Kalita. Menemukan Maria yang masih dalam posisi itu-itu saja. Lalu, temannya itu kembali berkutat pada aktivitas di kubikelnya lagi.

Setelah Maria hilang dari pandangannya, gantian Kalita yang melongok ke kubikel Maria. Ia mencolek perempuan itu, menjulurkan kotak sarapan paginya untuk dinikmati bersama.

"Gue sudah sarapan," ujar Maria. "Tapi enggak nolak juga sih," lanjutnya, diiringi tawa mereka berdua.

Kalita menyobek roti bakar buatan sang ibu dalam potongan kecil-kecil dan menyuapkannya ke dalam mulut. Ia mengunyah perlahan, sambil memandangi langit-langit kantor. Ia terdiam selama beberapa saat. Tertuju pada satu titik, entah apa. Lalu pandangannya kembali pada Maria yang tak pernah menolak makanan apapun yang dibawakan Kalita untuknya.

"Do you believe in miracle?" tanya Kalita tiba-tiba. Kedua alis Maria sampai terangkat, menuntut penjelasan lebih dari pertanyaan tersebut.

"Sesuatu yang ajaib gitu. Yang enggak kita pikirkan sebelumnya, tapi kemudian datang ke kehidupan kita."

Maria berpikir sejenak. Ia mengangguk kemudian. "Iya. Memangnya ada keajaiban apa?" Ia merespons balik dengan pertanyaan.

"Gue enggak tahu bagaimana mendefinisikannya. Sederhananya, gue kayak ngerasa Tuhan tuh kirimin seseorang buat ngejagain gue sejak kecil."

"Guardian angel?"

Kalita mengedikkan bahu. "Ingat cowok yang kemarin masuk ke sini?"

"That crazy guy?"

Kalita mengangguk lagi. "Gue enggak bisa ingat persisnya kapan. Semua ada di sini." Ia menunjuk tepi keningnya. "Semua yang ada di sini enggak akan pergi, kan? Gue pernah ketemu seorang cowok yang muncul dari pepohonan."

"Maksudnya kayak Henry di The Time Traveler's Wife gitu?"

"Maybe. I remembered the moment. But I'm not sure, was it him?"

"Gue juga enggak yakin sih. Terus?"

"Ada beberapa kejadian juga yang pernah gue alami yang rasanya enggak masuk logika. Kayak misalnya, gue jatuh dari pohon dan seharusnya gue itu sudah luka di situ. Tapi enggak kenapa-napa."

"So, you're a lucky bastard."

Kalita mencubit paha Maria mendengar komentar semaunya meluncur dari mulut perempuan itu.

"Gue tahu sih lo percaya sama hal-hal seperti itu. Tapi kalau gue berpikir logis saja. Gue enggak terlalu percaya sama hal-hal seperti itu."

"Gue enggak minta lo percaya juga sih. Cuma gue mikirin hal ini terus dari kemarin. Kayak... this is something that I have to prove, gitu."

"Lo mau buktiin dengan cara kayak gimana?"

Ia mengedikkan bahu kembali.

* * *

"Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Abner. "Kau akan memberi tahunya seperti waktu itu?"

"Jika aku bisa."

"Tentu kau bisa. Kau bisa melakukannya. Yang jadi pertanyaan adalah, akankah kau benar-benar melakukannya?"

Aku dan Abner bersisian dalam angkutan umum yang sempit ini. Bus panjang yang melintas dalam jalur ini penuh sesak oleh penumpang. Berdempet-dempetan dengan penumpang lainnya, ia berpegangan kuat-kuat pada kekang plastik untuk menahan bobot tubuhnya jika sopir bus menekan pedal rem atau gas hingga membuat semua penumpang terdorong ke depan atau belakang.

"Kau tak lupa pesanku, kan?"

"Aku tahu."

Abner menepuk pundakku. "Jangan coba lagi untuk menyeberang. Apa yang kau lakukan sudah cukup. Tugasmu sudah benar untuk dijalankan. Jangan lebih dari itu."

* * *

Malam ketika ia belum terpejam. Sambil terlentang, dibukanya lagi lembar demi lembar buku harian itu. Ia menyusuri lagi satu persatu goresan tinta yang ada di sana. Membaca setiap tulisan yang ada. Menelusuri relief gambar yang pernah dibuatnya.

Ia berhenti cukup lama pada gambar sepasang sayap itu. Termenung dalam lamunan. Entah apa. Aku tak tahu, dan sulit juga bagiku untuk mencari tahu. Sebab aku tak akan tahu sampai ia menjelaskannya sendiri lewat tindakan atau ucapan-ucapan yang ia suarakan sendiri.

Buku harian itu diletakkan di dada. Ia tak mengubah posisi rebahnya. Matanya terpejam sejenak, tetapi tidak terlelap. Ketika ia membuka mata perlahan-lahan dan mengerjap beberapa kali, ia meraba-raba tempat tidurnya, mencari ponsel yang tadi entah diletakkan di mana.

Ia memeriksa daftar lagu yang ada di sana. Lalu menusukkan pelantang telinga pada ponsel tersebut, dan memasangnya di kedua telinga.

Dalam hitungan detik, ia sudah larut dalam musik-musik tersebut. Kakinya bergoyang di balik selimut. Lalu bangkit duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Penanya menggores lagi lembaran buku harian itu.

Aku tetap di sini. Ikut duduk di tempat tidur. Persis di sebelahnya. Kudekatkan telingaku pada pelantang telinga itu. Mencari tahu lagu apa yang tengah didengarkannya.

Lagu itu berisi kata-kata tentang sesuatu.

Dan sesuatu itu adalah... penantian.

* * *


Film tentang seorang penjelajah waktu yang diangkat dari novel berjudul sama

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang