Chapter 23

33 5 0
                                    

Momen duka itu berlangsung selama beberapa hari di rumah.

Ia bersedih atas kepergian Eyang. Namun ayahnya selalu meyakinkan seluruh anggota keluarga, bahwa segala yang terjadi haruslah disikapi dengan baik. Bukan dengan menggerutui takdir, melainkan meyakini bahwa ini adalah pilihan terbaik untuk Eyang.

Foto-foto kenangan itu tersimpan dalam banyak album. Bersama sang Ibu, ia melihat-lihat kumpulan memori kebersamaan mereka dahulu. Mereka tersenyum mengingat bagaimana sebuah kejadian terekam dalam hidup, mereka tertawa untuk sebuah ingatan yang lucu, mereka merenung tentang perjalanan yang telah dilalui.

Berdiam di kamar menjadi pilihan baginya. Ia duduk memeluk lutut dan menopangkan dagunya di sana. Ia tidak menangis, sedangkan aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ia bicara kemudian, memanggil namaku.

"Kalau kamu memang ada di sini, aku ingin bicara padamu."

Sudah dua kali.

Sejak saat aku meminta kepada Tuhan, sudah dua kali kesempatan itu datang kepadaku. Aku takut meminta lagi kali ini. Namun suara itu terus memanggilku berkali-kali. Dengan atau tanpa izin, bisa saja kulakukan hal tersebut. Hadir di hadapannya. Membiarkan ia melihat keberadaanku.

Kupejamkan mata. Ia masih memanggil. Ruangan ini mendadak hening. Bunyi-bunyian di sekeliling seperti berhenti mendadak.

Aku membuka mata. ia berjalan menghampiriku.

"Boleh aku bertanya satu hal lainnya?" tanyanya.

* * *

Kemana mereka pergi setelah meninggalkan dunia? Apa yang akan dilakukan malaikat penjaganya? Tidak bisakah mereka bertemu kembali? Bisakah ia bertemu dengan sang Eyang suatu saat nanti?

Ia tahu, tak ada yang bisa mengubah takdir. Tak ada yang bisa mencegah datangnya ajal. Dan tak mungkin meminta malaikat penjaga untuk melindungi manusia yang dijaganya agar terhindar dari kematian.

Ia masih teringat pada sang Eyang. Cerita panjang yang ia bagi hanya menghadirkan kerinduan. Namun semua percakapan itu―pertanyaan-pertanyaan itu seringkali membuat ia berpikir dan mencari sebuah kesimpulan.

"Kalau nanti aku sudah enggak ada di dunia. Kamu juga akan pergi?"

"Aku akan kembali ke langit."

"Kita akan bertemu di sana?"

Aku menggeleng. "Aku belum pernah bertemu lagi dengan manusia yang kujaga. Kami tak pernah bertemu lagi sampai akhir dunia."

"Menyedihkan sekali."

"Kenapa begitu?"

"Tak pernah ada yang benar-benar menjadi milik abadi bagi kita. Semua berakhir di ujung kehidupan. Dan setelah itu, kita tak akan saling mengenal, kan?"

"Aku tak tahu. Aku tak pernah sampai di ujung kehidupan."

Ia mengusap-usap lengannya. Lalu melirik ke arah buku harian miliknya. Ia mengambil buku tersebut, dan memberikannya kepadaku.

"Kamu tahu kenapa aku menulis ini? Agar aku tidak lupa." Ia bertanya dan menjawabnya sendiri. "Ada banyak momen indah yang terjadi dalam hidup. Dan semuanya tak akan pernah kembali lagi. Itulah kenapa manusia menyimpan kenangan-kenangan mereka dalam buku, album foto, lagu dan sebagainya. Sebab mereka tahu, kenangan tak bisa diulang."

"Untuk apa?"

"Untuk menjaga sesuatu yang tak pernah bisa kami miliki."

"Pada akhirnya, semua akan pergi kan?"

"Karena itulah... selagi masih ada waktu. Kami masih bisa memilikinya, walaupun dalam bentuk memori."

Aku terdiam. Kami sama-sama terdiam. Untuk jeda waktu yang cukup lama, kamar ini kian hening. Ia kembali memeluk erat kedua lututnya. Memandang ke arah jendela.

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang