Chapter 21

22 4 0
                                    

Pagi itu, entah apa yang terjadi pada pagi itu.

Entah rencana Tuhan yang mana yang telah disiapkannya untuk kita. Atau mungkin saja, bukan untuknya? Melainkan untukku?

Aku tidak merencanakan ini. Aku tidak berusaha untuk ini. Tugasku hanyalah menjaganya. Dan untuk itu aku ada di sana. Mengikutinya di sepanjang perjalanan. Berada di dekatnya ketika ia membuka mata dan melihatku.

Itu bukan kehendakku. Aku tidak memaksakan diriku untuk bisa terlihat di hadapannya. Namun jika itu semua terjadi, lalu apa sebenarnya yang telah takdir pilihkan untuk kami?

"Kamu, kemana selama ini?" tanyanya. "Aku sudah melihatmu sejak dulu. Aku melihatmu saat aku masih kecil dulu. Itu, kamu kan?"

Siapa kamu? Dari mana kamu? Apakah kamu mengenalku? Apakah kamu sudah lama berada di sisiku? Dan sekian banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang muncul.

Interaksi itu terjadi bukan seperti kontak pertama kami. Bukan seperti ketika aku meminta izin kepada Tuhan untuk menampakkan diriku di hadapannya. Ia memaksaku untuk ikut duduk bersamanya. Ia memaksaku untuk bicara dan bercerita. Ia menatap ke arahku lekat-lekat, dan menunggu apa yang akan keluar dari mulutku.

Baginya, itu semua tampak bagai mimpi. Bagiku, ini semua tampak terlalu membingungkan untuk dimengerti. Dan hari beranjak cepat menjadi sore. Saat ia bertanya kembali, apakah aku akan ikut bersamanya. Kujawab, "Aku selalu berada bersamamu."

Dan saat itulah hujan turun tiba-tiba. Membuat langkah orang-orang yang berada di taman ini buyar bagai burung-burung di taman yang diusir paksa.

Ia pun berlari mencari tempat untuk berteduh. Tas ranselnya digunakan sebagai penutup kepala. Ia berteriak padaku, "Ayo, kamu akan kehujanan nanti."

Ketika ia sampai di bawah sebuah atap gedung. Pandangannya menoleh ke kanan dan kiri. Aku mengikuti apa yang dilakukannya. Siapa yang ia cari? Lalu ia memanggil namaku.

"Gasparo? Aro?" Ia terus memanggil dan mencari.

"Aku di sini," jawabku.

Namun ia tak mendengar suaraku. Ia bahkan tak tahu kalau aku berada persis di sebelahnya. Bahunya melorot jatuh. Ia menghela napas karena kecewa. Ia tak lagi mampu melihatku. Aku tak lagi nampak di hadapannya.

Dan ia pulang. Kembali kesepian.

* * *

Ia tidak sendirian.

Ada aku yang menemaninya. Sayangnya ia tidak bisa melihatku. Namun aku tahu bahwa ia tahu kalau sesungguhnya aku ada di sini.

Terduduk di teras depan rumahnya. Ia menutup kedua kakinya dengan selimut tipis agar tidak digigit nyamuk. Ia tak perlu melakukan itu. Aku bisa menghardik nyamuk-nyamuk tersebut. Aku adalah malaikat penjaganya. Akan kulakukan apapun demi untuk melindunginya.

Ponselnya sudah lelah bernyanyi. Musik yang masuk ke rongga telinga melalui pelantang yang menempel di sana. Lagu-lagunya bertema jatuh cinta. Kata-kata yang digaris bawahi sebagai perasaan, pencarian, pertemuan, dan keinginan untuk bertemu lagi.

"Rindu. Itu namanya rindu." Aku bicara sendiri. Ia tidak bisa mendengar suaraku.

Ia bertahan di sana hingga malam menjelang larut. Ayah ibunya sudah memanggilnya untuk masuk karena khawatir bisa masuk angin. Namun ia menolak.

Kursi rotan itu sudah menjadi perangkap baginya. Ditambah perasaannya sendiri, maka lengkaplah sudah. Aku terduduk di lantai. Kuletakkan kedua tanganku di atas tangannya. Ia tak bereaksi sebab tak merasakan apa-apa. Ia tak tahu aku berada persis di sampingnya. Kuletakkan sebelah pipiku pada punggung tanganku yang bertumpu di atas tangannya.

Aku memandangi wajahnya.

* * *

Apa definisi manusia tentang kekaguman? Mereka menyebutnya dalam banyak kata. Cantik, tampan, berkarisma, menarik, imut, dan lain sebagainya.

Apa definisi kami tentang kekaguman? Tidak ada. Kami tidak mengagumi. Kami dilatih untuk memuja dan mendoakan. Pada perangai baik manusia itu, maka kami mendoakan kebaikan padanya. Meminta Tuhan menghapuskan dosa-dosa mereka. Sikap baik manusia tidak untuk kami puja. Namun kami bisa menggantinya dengan doa-doa.

Apakah ia masih terlihat kesepian? Sepertinya, iya. Apakah ia masih mencari? Sudah barang tentu, iya. Abner mengajariku untuk mendengarkan suara hati mereka. Doa-doa yang diucapkan tanpa suara.

Sama seperti lagu yang didengarkannya semalam. Doa-doa itu berisi hal-hal tentang jatuh cinta. Ia memulai pagi dengan perasaan yang sama. Perasaan? Ah, bagaimana aku tahu tentang perasaan?

Aku sebenarnya tidak tahu. Ia yang memberi tahuku. Di hadapan cermin di kamarnya, ia bicara sendiri. Seolah mengharapkan aku bisa mendengarnya.

"Kamu tahu seperti apa rasanya rindu?"

Itu yang diucapkannya.

* * *

"Kau mau tahu seperti apa rasanya rindu?" tanya Abner. "Kau sudah tahu rasanya dirindu?" Ia bertanya lagi.

"Seandainya perasaan itu ada di sini, Abner." Aku meletakkan telunjukku di dada. "Aku akan tahu rasanya menjadi dia."

"Lalu, kau mau mencari tahu?"

"Kau memancingku?"

"Karena aku tahu kau akan melakukan apa yang kau mau."

Kami terdiam dan saling tatap kemudian. Segaris senyum muncul di wajah Abner. Ini bukanlah hal yang umum ia lakukan dengan malaikat-malaikat lainnya. Ia tak berinteraksi seperti itu. Namun, aku juga tahu ia tak sepenuhnya mengiyakan apa yang telah dan akan kulakukan.

Abner bertugas mengawasi semua malaikat. Aku kenal siapa dirinya. Aku tahu ia setia dengan pekerjaannya dan ia akan berusaha memastikan semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya.

"Kau bisa mendengar doa-doa kami? Kau membaca siapa diri kami?" tanyaku.

"Aku sudah bilang padamu. Aku bahkan bisa mendengar apa yang pohon katakan lewat gemersik daun dan ranting-ranting mereka yang rapuh."

"Kau tahu apa yang akan terjadi pada kami?"

Abner menggeleng. "Aku bukan Yang Maha Tahu. Hidup ini adalah misteri. Sebagian sudah kita ketahui, sebagian lainnya mungkin tak akan pernah kita tahu hingga hari akhir nanti."

"Seandainya aku melakukan sesuatu yang kau pikir itu salah?"

"Kau mempertanyakan itu lagi." Abner mengulas senyumnya kembali. "Kau lupa, benar dan salah bukanlah bagian dari kewenangan kita. Aku tak bisa menilai itu. Bahkan aku tak pernah tahu, apa yang telah aku lakukan kepadamu dan malaikat-malaikat lainnya selama ini adalah sebuah kebenaran atau malah kesalahan yang besar. Kita tak pernah bisa menimbang. Kita bukan makhluk yang adil. Hanya Tuhan yang paling mampu."

"Bagaimana cara aku tahu kalau ini benar atau sebaliknya?"

Abner menunduk sejenak, lalu menengadahkan pandangan ke arah langit. Ia menurunkan pandangannya dan menatapku kembali kemudian.

"Dengar. Dan dengarkan," ucapnya. Ia mundur beberapa langkah dan cahaya yang benderang muncul dari sekujur tubuhnya seperti menelan dirinya utuh-utuh.

Sebelum Abner menghilang, kutanyakan hal itu. "Bagaimana mungkin aku bisa mendengar?"

Namun pertanyaan itu tak sempat dijawabnya.

Menggantung, sebagai petunjuk yang mesti dicari.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang