Chapter 6

74 15 0
                                    


Sesulit apakah patah hati itu?

Aku mencari tahu dari setiap sikap manusia yang kutemui. Abner berkata, aku belum melihat banyak seperti apa manusia itu. Aku melihat sekeliling. Aku berada di sekitar Kalita. Aku mengamati bagaimana manusia bertindak dengan dorongan pikiran dan perasaannya.

Namun patah hati nampaknya adalah sebuah bencana besar.

Dari segala macam peristiwa, ternyata ada satu yang paling ditakuti manusia. Yaitu, perpisahan. Mereka takut menghadapi kehilangan. Dalam berbagai rupa. Dalam berbagai bentuk. Entah karena kematian, perpindahan, putus hubungan, dan segala ketidak bersamaan lainnya.

Mereka terbiasa menikmati keberadaan. Dan ketika apa yang mereka miliki pergi, mereka ternyata tak siap melaluinya.

Aku pernah berkata bahwa segalanya berjalan begitu mudah. Aku tahu takdir ditentukan oleh Tuhan dan ada peran antar manusia di dalamnya. Ketika Mikha menyatakan ia harus pergi, sesungguhnya peran tersebut telah diambil olehnya. Kalita mampu bersikeras untuk menolak. Kalita bisa saja memohon. Namun pada akhirnya, sesuatu akan terjadi seperti bagaimana seharusnya itu terjadi.

Mungkin memang itu jalan cerita yang Tuhan buat, dan ternyata Mikha tak menggunakan perannya untuk bertahan. Bisa saja, Tuhan memang menyiapkan hidup seperti ini. Ketika ia sedang menikmati perasaan hatinya, Tuhan ingin mengajarkan arti sebuah kerelaan dan melepaskan.

Di koridor sekolah, ia menangis mendapati kenyataan kalau Mikha memilih pergi. Lelaki itu mengupayakan sebuah penghiburan. Ia mengatakan segala yang ia alami bersama Kalita adalah kenangan terbaik yang ia punya. Setidaknya, perpisahan tak benar-benar membawa luka. Perpisahan juga menghadirkan sesuatu yang indah sebagai kenangan.

Namun bagi Kalita, perpisahan tetaplah perpisahan. Sepanjang perjalanan pulang dengan diantar sepeda motor, ia memeluk pinggang lelaki itu erat-erat. Mereka berdiri lama di luar pagar rumah. Sampai Mikha harus pamit pergi, dan Kalita melihatnya berlalu hingga hilang dari pandangan.

Ia mendorong pintu rumah dengan lesu. Kedua orangtuanya mengetahui hal itu. Namun mereka tak tergesa-gesa untuk menginterogasi. Mereka membiarkannya naik ke kamar. Mereka tahu, ia membutuhkan waktu untuk sendiri, sampai ia siap untuk bercerita.

Di kamar itu, aku berdiri di sudut di mana biasanya aku berada. Kuamati ia yang telungkup memeluk bantal. Ada isak yang terdengar samar. Bahunya berguncang pelan. Ada waktu yang cukup panjang baginya untuk meluapkan itu semua.

Malam hampir turun sepenuhnya. Kedua orangtuanya masih terjaga di bawah. Mereka mengira-ngira apa yang terjadi pada putri mereka dalam percakapan berdua di sepanjang malam.

* * *

Entah, apakah akan ada pertemuan lagi.

Perpisahan jelas telah mengubah segalanya. Seperti ketika ia jatuh cinta dulu. Ia berubah menjadi dirinya yang baru. Kepergian Mikha telah menyeret dirinya kembali ke masa lalu. Lebih dari itu, ia malah terperosok cukup jauh dari dirinya sebelum bertemu Mikha.

Kalita menjadi lebih pendiam di sekolah. Ia yang selama beberapa bulan terakhir selalu punya aktivitas untuk bersama, kini nyaris tak ada sesuatu yang ingin dilakukan. Ia hanya datang untuk berdiam di kelas dan bergegas untuk pulang setelah jam sekolah usai.

Ia juga tak lagi memasak. Cetakan-cetakan cokelat dan loyang kue tak tersentuh di dalam lemari. Lagu-lagu yang diputar di kamar tak bernuansa ceria. Kebanyakan berlirik cinta yang lirih. Sebagian lainnya tentang kenangan. Dan sisanya adalah pilihan acak yang tak terlalu ia pedulikan.

Di suatu sore yang hujan, ia pergi ke sebuah toko buku yang letaknya tak seberapa jauh dari rumahnya. Toko buku itu memiliki dinding kaca dan pekarangan yang luas. Di halamannya, ditanam berbagai tanaman dalam pot. Hujan menjadikan suasana sedikit sendu. Ia menggenggam satu buku yang sudah dipilihnya. Plastik pembungkusnya belum dibuka. Ia hanya mematung di hadapan dinding kaca tersebut. Memandang ke luar, pada hujan yang turun.

Aku berada persis di sebelahnya. Kuamati raut wajahnya yang murung. Aku tak tahu seperti apa rasanya patah hati. Aku tak mengerti dengan istilah hati yang hancur. Aku juga tak bisa merasakan rindu atau lirihnya hati karena rindu. Aku hanya bisa melihatnya. Ia dan wajahnya yang tak lagi ceria.

Mungkin jika Tuhan mengizinkan malaikat untuk merasa, aku akan paham bagaimana rasanya menjadi dia. Aku akan mengerti kenapa manusia menangis untuk manusia lainnya.

Ia berjalan pulang setelah hujan berhenti turun. Ia berdiam di kamarnya sambil membaca buku yang tadi dibelinya. Ia tak kunjung tidur malam itu, dan aku tak juga beranjak dari sisi tempat tidur.

Entah sejak kapan Abner berada di sana. Ia berdiri di sudut di mana aku biasa berada. Ia melipat kedua lengannya di depan dada, lalu berjalan menghampiriku. Sayapnya yang panjang―lebih panjang dari kedua sayapku, menyapu lantai kayu yang melapisi kamar Kalita.

"Kau tahu seperti apa manusia ketika patah hati?"

"Aku tidak paham kenapa mereka begitu."

Abner tersenyum, ia ikut duduk di tepi tempat tidur. "Mereka spesial dengan apa yang Tuhan berikan. Mereka menjadi berbeda dengan apa yang mereka pikir dan rasakan. Itulah kenapa, kau tidak akan pernah tahu apa yang mereka inginkan. Karena mereka menyimpan semuanya di sini." Abner menunjuk kepalanya dengan dua jari. "Dan mereka bisa berubah mendadak karena apa yang ada di sini," tambahnya sambil meletakkan sebelah telapak tangannya di dada.

Aku berpaling, menoleh pada Kalita, memperhatikannya yang masih tetap pada aktivitas membacanya. Lalu kembali menoleh kepada Abner.

"Apakah mereka, antar sesama manusia tidak saling mempertanyakan apa yang kita tanyakan?"

"Tentang?"

"Tentang apa yang orang lain pikir dan rasakan?"

"Selalu."

"Kau tahu?"

Abner menggeleng. "Kita tak pernah tahu. Tapi mereka selalu memberi tahu kita, bukan?" Abner memandang ke arah Kalita sekarang.

"Lewat apa yang mereka lakukan. Lewat keputusan-keputusan yang mereka buat. Kita akan tahu apa yang disimpan dalam kepala dan hati mereka."

Abner bangkit dari duduknya. Ia melangkah mundur kemudian. Lalu pergi meninggalkan kamar ini. Membiarkan aku pada tugasku dan Kalita yang belum juga beralih pada aktivitas lain.

Ia tak kunjung tidur hingga malam. Setelah menutup buku yang dibacanya pun, ia tetap terjaga dengan pandangan menatap langit-langit kamar.

Perlahan, ia bangkit dari rebahnya. Ia terduduk selama beberapa saat sebelum meninggalkan tempat tidur untuk mencari sesuatu yang disimpan di dalam lemarinya. Kotak berisi barang-barang yang ia kumpulkan. Buku hariannya ada di sana. Ia mengambil dan membawanya ke tempat tidur.

Lembaran buku-buku itu mulai menguning di bagian sisinya. Ia meraih pulpen di meja tepi tempat tidur, menuliskan sesuatu sebelum lelap menyergap.

Aku tak mengusiknya. Aku membiarkan ia melakukan apa yang ia mau.

Tenyata ia tidak hanya menulis. Ia menggambar sebuah punggung dengan sepasang sayap. Di sana ia menulis: I need You.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang