Chapter 24

24 5 0
                                    

Pertanyaan tentang hidup.

Bukan sekadar rasa roti bakar itu. Bukan tentang aroma masakan, juga manisnya buah-buah yang telah ranum. Lebih dari itu. Ini tentang hidup.

Sejak saat aku menjaganya dan melihat banyak hal terjadi dalam hidupnya. Aku sudah menemukan banyak tanya dalam kepalaku. Seperti apa rasanya menjadi dirinya. Seperti apa rasanya menjadi mereka.

Hidup yang terus berjalan. Pagi yang bergerak menuju malam, dan sebaliknya. Awal menuju akhir. Hidup yang berakhir pada kematian. Ingatan, kenangan, kumpulan perasaan. Aku tahu hidup manusia terlalu rumit dengan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Namun, keistimewaan itu justru membuatku terus memikirkannya.

"Kamu tak perlu memikirkan itu. Kamu beruntung. Sebab kamu tahu kalau kamu tak bisa memiliki kehidupan ini, sehingga tak perlu berharap banyak. Kamu tak perlu takut akan lupa, kamu tak perlu juga takut kehilangan."

"Apa kamu takut jika nanti kita tak bertemu lagi? Jika aku tak mengenalimu, dan kamu tak mengenaliku?" tanyaku. Seperti apa yang pernah kami bicarakan di waktu lalu.

"Aku selalu takut. Aku bahkan takut mengetahui bahwa semua yang kucatat dalam buku harian tersebut akan hilang suatu saat nanti. Sebab, tak ada yang bisa kubawa dari dunia ini. Bahkan ingatan."

"Lalu yang kamu lakukan..."

Ia mengangguk cepat sebagai respons. "Mengingat semua yang masih bisa kumiliki. Memiliki semua yang masih bisa kuingat."

"Seandainya aku pun begitu," ujarku dengan nada suara yang pelan.

"Seandainya?"

"Iya. Seandainya."

"Itu adalah cara kami mengharapkan sesuatu yang tak bisa kami miliki atau raih. Cara kami membuat harapan dari angan-angan."

Ia merangkumkan jari-jemarinya. Memandangiku untuk jeda waktu yang lama. Aku tak tahu kenapa ia melakukan itu. Namun aku tak keberatan.

"Aku senang memiliki takdir hidupku saat ini. Menemukan keajaiban yang tidak bisa disadari oleh semua orang. Mungkin jika kuceritakan kepada orang lain, aku akan dianggap gila. Tapi... tak apa. Cukup aku saja."

Ia berhenti kembali. Ia mengambil napas panjang.

"Bagiku, semua yang kumiliki saat ini adalah cukup. Sekalipun kamu bilang padaku bahwa setelah aku meninggalkan dunia ini, kamu akan kembali ke langit. Dan setelah itu kita tak akan saling kenal lagi. Setidaknya, kita punya waktu yang kita miliki saat ini, kan? Bahkan jika kamu tak akan muncul lagi di hadapanku. Apa yang bisa kulakukan, selain mensyukuri apa yang sudah kita lewati."

Ia meraih sebelah tanganku. Menggenggamnya erat. Ia mengusap-usap punggung tanganku sekalipun aku tak bisa merasakan seperti apa rasanya bersentuhan secara fisik dengannya.

"Kamu kekal. Dalam buku harianku. Nanti, saat ingatanku sudah hilang. Catatan itu akan tetap ada selama-lamanya."

"Bagaimana jika kamu meminta agar ingatan tersebut tak pernah hilang?" tanyaku.

Ia tersenyum. "Mungkin nanti akan kuminta kepada Tuhan."

* * *

Apa makna yang aku cari?

Apa arti hidup ini? Apakah sekadar menjalankan tugasku? Atau mencari sesuatu? Menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam hidup yang perlu kutahu?

Padang ilalang yang luas. Aku menengadahkan kepala ke langit. Ingin kusampaikan kepada Tuhan kegelisahan yang muncul. Dua kata itu, ingin dan gelisah, bahkan bukan dua kata yang kumiliki sejak aku diciptakan.

Namun kenapa aku memikirkannya kini? Apakah ini adalah jalan hidup yang tak kuketahui? Aku memejamkan mata, menyapukan tanganku pada ilalang-ilalang yang meninggi. Tanganku bersentuhan dengan ujung-ujung ilalang yang ringan.

Gemersik itu kudengar, walau tak kurasakan. Sapuan angin itu melewati tubuhku, walau aku tak tahu bagaimana wujud dan bentuknya. Semua yang hijau dan mengunging. Langit biru yang luas dan saput awan tipis.

Ketika mataku memejam. Tubuhku lenyap.

Di sini. Di ruangan ini aku berada. Tiba-tiba.

Kulihat ia terduduk dan terkejut mendapatiku.

"Kenapa kamu muncul tiba-tiba?" tanyanya.

"Aku mengejutkanmu?" Aku balik bertanya.

"Sedikit."

Ia turun dari tempat tidurnya. Menghampiriku. "Kemana kamu tadi? Aku memanggilmu, tapi kukira kamu tak mau muncul lagi."

"Panggilanmu yang membawaku terbang ke sini?"

Ia tampak bingung. Ia berdiri di hadapanku dengan wajah bingung. Kuraih kedua tangannya, kuletakkan kedua telapak tangan itu menempel pada pipiku.

"Apa yang kamu rasakan?" tanyaku.

"Dingin."

"Selain itu?"

Ia mengambil napas panjang hingga bahunya terangkat. Ia menatapku lurus-lurus. "I feel you," jawabnya.

"Seperti apa aku? Bagaimana aku?" tanyaku lagi.

"Kamu..." kalimatnya menggantung. "Kamu sama seperti saat aku pertama kali bertemu denganmu."

Aku mengangkat kedua telapak tangannya dari pipiku. Tanpa melepas genggaman tangan itu. Aku meletakkannya di dadaku. Aku menggeleng.

"Tidak. Aku berbeda," ucapku. "Aku tidak sama."

Walaupun tampak bingung, namun ia mencoba memahami.

"Aku sedang mencari."

"Apa yang kamu cari?"

"Arti hidup buatku."

Bola mata itu bergeser ke bawah. Menunduk. Ia melepas genggaman tanganku perlahan-lahan. Aku berusaha menggapainya lagi. Mencegah ia pergi.

"Kenapa?" tanyaku.

"Jangan lebih dari ini."

"Kenapa?" Aku masih bertanya hal yang sama.

"Aku tak mau kamu lebih dari ini. Sebab aku tak mau diriku lebih dari ini."

"Jika terjadi?"

Ia diam sejenak. Tertunduk. Berucap lemah.

"Nanti memoriku tak lagi sama. Sedangkan kita tahu, takdir kita berbeda. Jangan lebih dari ini. Aku tak mau menggambar memori yang lain."

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang