Chapter 11

43 9 2
                                    

Sudah kukatakan di waktu lalu kalau aku melihat senyum yang berbeda di wajah lelaki itu.

Sebagian besar manusia menduga, malaikat bisa membaca maksud yang terkandung di dalam hati mereka. Namun sesungguhnya kami tidak ditakdirkan untuk memiliki kemampuan itu. Kami bukan penerawang. Beberapa di antara kami tidak terikat dengan waktu. Mereka bisa melompat dalam lintasan ruang tanpa perlu kehilangan detik-detik seperti manusia. Beberapa diberikan kemampuan istimewa lainnya. Mereka bisa mengembuskan angin dan menurunkan hujan. Hingga menyampaikan ilmu-ilmu pengetahuan ke dalam kepala manusia. Kami diberikan tugas dan kemampuan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Membaca perasaan dan isi pikiran manusia bukanlah kemampuanku. Tuhan menciptakan manusia sebagai sebaik-baiknya makhluk. Ia memberikan akal pikiran kepada mereka. Dan itulah yang membuat mereka memiliki pilihan, hasrat, dan kehendak. Dan seringnya hal itu tak bisa kami pahami sama sekali. Kami bahkan tak bisa menebak apa yang akan mereka lakukan.

Akan tetapi, sekalipun aku tak tahu. Jelas kutangkap dari sosok Theo pada hari itu bahwa ia menyembunyikan sesuatu dari Kalita. Sedang Kalita tak tahu apa yang sebenarnya tengah ia hadapi dari lelaki itu.

Jatuh cinta telah membuat manusia kehilangan banyak akal sehat. Jatuh cinta membuat mereka lupa untuk membedakan antara benar dan salah. Jatuh cinta membuat Kalita yang biasanya berpikir kritis, kini mengabaikan sesuatu yang biasa didengar dari orang-orang di sekitarnya.

"Tahu asal usul dia sebelum kerja di sini?" tanya teman sebelah kubikelnya.

"Ada yang lebih penting selain masa lalu?" Ia menjawab dengan pertanyaan balasan.

"Semua memang rahasia HRD. Tapi selebar apa sih dunia publishing dan media? Selama ini, anak-anak baru yang datang ke sini, atau bahkan anak magang, kita tahu asal muasalnya dari mana."

Ia acuh tak acuh mendengar komentar temannya itu. Temannya hanya bisa menatap heran melihat Kalita yang tak biasa merespons perkataannya dengan cara seperti itu. Mungkin jatuh cinta telah membuatnya menjadi demikian.

Ia tak banyak terpengaruh dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Jam makan siang ia lewati bersama lelaki itu. Ada percakapan yang terulur seperti biasanya. Obrolan-obrolan yang selalu mereka habiskan selagi bersama.

Kukira ia akan melewatkan pertanyaan itu. Nyatanya ia tanyakan juga meski lebih terdengar seperti sebuah pernyataan yang menolak apa yang telah didengarnya.

"Mereka pikir aku perlu tahu tentang masa lalumu. Tapi kurasa tidak. Mereka juga bertanya tentang di mana kamu sebelum ini. Aku rasa, aku juga tidak perlu tahu tentang itu."

Lalu meja di antara mereka menjadi hening sesaat. Ia meneguk minuman dingin di hadapannya hingga habis. Bersendawa kecil, meski ia jarang sekali melakukan itu sebelumnya. Lalu lelaki itu mengajaknya menyudahi kegiatan makan siang mereka, dan kembali ke ruang kerja masing-masing.

Aku tahu, tanda tanya itu adalah bagian dari ketidak tahuan yang ia coba singkirkan. Dan ia pun menyadari hal tersebut. Namun ia tidak menyadari, bahwa sikap lelaki itu di belakangnya tidak lagi sama dengan sebelum-sebelumnya.

Ketika mereka berpisah jalan, Theo mengetik sesuatu di ponselnya. Seseorang yang ia kirimi pesan bernama Editor in Chief. Pesannya singkat, hanya berbunyi 'Ia mulai curiga, tapi ia mencoba tutup mata.'

Pesan balasan segera masuk. Theo membuka dan membacanya seraya mengangguk. Aku tahu kini arti senyuman lelaki itu sewaktu di Moscato. Aku juga tahu arti sikap ramahnya selama ini. Ketulusan yang dilakukan dengan tujuan. Ada maksud yang ingin ia dapatkan dari Kalita.

Sebelum dia tahu, curi rahasia sebanyak-banyaknya tentang perusahaan itu.

Pesan balasan itu cepat-cepat dihapusnya setelah dibaca.

* * *

Debu-debu menguap di sisi jalan.

Ia meninggalkan kantor lebih awal dari biasanya karena panggilan telepon dari rumah mengabarkan bahwa sang Ayah terjatuh di tempat kerja dan mesti mendapatkan perawatan medis.

Lelaki itu ikut izin dan menawarkan bantuan untuk menemaninya ke Rumah Sakit. Jalanan sore yang macet membuat perjalanan mereka sedikit terhambat. Theo, di balik kemudinya sudah membuka topik obrolan sejak tadi.

Ia membicarakan soal kondisi Ibukota sampai musim yang berganti dengan semakin tidak jelas dari tahun ke tahun. Dan pembicaraan soal pekerjaan menyusul setelah itu. Seperti, bagaimana ia memulai pekerjaan ini dan mencapai posisi yang bagus di usia yang relatif muda? Apa saja yang telah ia lakukan untuk mencapai posisi tersebut? Bagaimana perusahaan menghargai hasil kerjanya? Apa yang telah perusahaan berikan? Dan banyak hal lainnya.

Aku harus mengakui kalau cara lelaki itu bernegosiasi dengan tujuannya sangatlah cerdas. Ia tak bicara pada titik poin pembahasan, namun melakukan pendekatan menuju titik tersebut. Menyentuh di bagian mana Kalita akan dengan mudah membagikan isi kepalanya. Mereka―manusia-manusia itu, menyebutnya sebagai kecerdasan dalam hubungan.

Aku duduk dan mendengarkan bagaimana obrolan tersebut digulirkan. Aku melihat ia mengatakan semuanya. Menceritakan perjuangan yang ia lakukan. Berupaya menaiki satu demi satu anak tangga. Mengambil peran kecil sampai diberikan peran besar. Aku melihat antusiasme ketika ia menceritakan itu semua.

Lalu pertanyaan itu merangkum semua yang telah ia bagikan. "Bagaimana cara perusahaan bertahan dari persaingan media sekarang ini. Pasti bukan hal yang mudah, kan? Dan aku bangga, kamu menjadi bagian dari keberhasilan itu. Apa bagian yang kamu lakukan dan apa bagian yang mereka lakukan?" tanya Theo.

Kalita menarik napas dalam. Ia berhenti selama sekian jenak. Ia berpikir. Kukira ia tengah menelaah dan menyadari kalau lelaki itu punya tujuan terselubung.

Nyatanya tidak. Ia bercerita.

Dan bercerita lagi...

* * *

Perhentian di basement mengakhiri percakapan mereka.

Ia menyampirkan tali bucket bag yang sejak tadi dipangkunya. Ia baru hendak membuka pintu mobil sebelum memalingkan wajahnya ke arah lelaki itu dan mengucapkan terima kasih.

"Untuk apa?" tanya Theo.

"Mengalihkan perhatianku. Kamu tahu kan aku sangat cemas sejak menerima telepon dari Mama?"

Theo mengangguk. "I do. That's why I─"

"─membuka obrolan." Ia menyambar kata-kata lelaki itu, dan Theo mengangguk lagi, mengiyakan.

"Kamu tahu aku juga sangat mencintai pekerjaanku. Menulis dan media adalah dua hal yang selalu membuatku bersemangat. Kurasa, itu yang menjadikan aku seperti diriku sekarang."

"Setuju. Kalau bukan karena rasa cintamu, tidak mungkin kita bisa mengobrol sepanjang itu. Coba kalu topiknya diganti tentang sepak bola misalnya. Pasti kamu sudah bosan. Dan pasti kamu akan kembali cemas."

"Terima kasih sudah mengerti."

"Selalu."

Ia membuka pintu mobil bersamaan dengan lelaki itu. Lalu melangkah masuk ke dalam lift. Menuju ruang perawatan sang Ayah.

Lelaki itu melingkarkan lengannya di pinggang Kalita. Ia hanya tersenyum memandang dengan perasaan tenang dan bahagia. Mensyukuri keberadaan lelaki itu di sebelahnya.

Sedangkan aku melihat dengan sebuah pernyataan di kepala. Seandainya ia tahu, betapa ia telah dibodohi oleh perasaannya sendiri.

Kenapa Tuhan meniupkan cinta di hati manusia jika hal itu bisa membuat mereka tersesat dalam ketidak tahuannya? Sesungguhnya, jatuh cinta adalah cara termudah untuk membodohi diri sendiri.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang