Chapter 16

29 4 0
                                    

"Seperti apa memiliki perasaan itu, Abner?" tanyaku, melihat ia yang telungkup di kamar sambil membenamkan wajahnya di bantal.

"Kau bahkan ingin tahu bagaimana menjadi mereka sekarang?"

"Aku tak paham seperti apa patah hati itu. Aku juga tak paham bagaimana rasanya kecewa sama halnya seperti senang, marah, bahagia, atau sedih. Aku hanya membaca dari wajah dan tingkah lakunya. Bukankah mereka beruntung memiliki itu semua?"

"Oleh sebab itu kau tidak membuat lelaki itu celaka?" tanya Abner.

"Kenapa harus begitu?"

"Manusia... jika mereka melihat orang terdekat mereka disakiti, mereka akan berusaha ikut membalasnya. Jika ada lelaki lain di situ yang mengenal Kalita saat kejadian tersebut berlangsung. Aku berani bertaruh kalau lelaki itu akan meninju wajah Theo."

"Aku tak tahu kalau aku harus melakukan itu."

"Karena kau tidak punya perasaan, Gasparo."

"Jadi... seperti apa perasaan itu? Tidakkah kau ingin punya sejuta perasaan juga?"

"Aku tidak memiliki kehendak," jawab Abner, singkat. Wajahnya tampak datar, tanpa ekspresi.

Hari sudah benar-benar larut sekarang. Ketika ia pulang diantar Maria tadi, ia langsung bersembunyi di dalam kamar. Kedua orangtuanya bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertanya atau sekadar menawarkan bantuan.

Ia langsung membenamkan dirinya di tempat tidur. Bahunya berguncang. Lama, ia tak mengubah posisi tidurnya itu. Dan aku tahu, isak tangis itu tak kunjung reda.

* * *

Ia terbangun dengan mata yang sembab ketika pagi datang.

Semangatnya menguap entah kemana. Ia berjalan gontai menuju ruang makan. Kedua orangtuanya mengamati dengan heran. Namun, mereka berusaha mengerti sepenuhnya. Mereka tahu, ini bukan kali pertama sang anak menunjukkan perubahan mood yang mendadak. Kalau bukan karena perasaan hati yang mengganggunya, lalu apa lagi?

"Mau teh, cokelat, atau susu hangat?" Ibunya menawari. Namun ia hanya menggeleng dan pergi ke lemari es untuk mengambil sekotak jus dingin.

"You need your own time?" tanya ayahnya. "Kamu bisa hubungi kantormu untuk absen dulu. They will understand."

"It's okay. I'll go to work." Ia menyahut tanpa ekspresi.

Dituangnya jus dingin tersebut. Ia meneguk perlahan. Menyisakan keheningan sementara kedua orangtuanya saling pandang. Mereka bisa melanjutkan pertanyaan, tetapi pada akhirnya memilih untuk diam sampai sang anak siap untuk bercerita kepada mereka.

* * *

Di sepanjang jalan menuju kantor, di dalam taksi, ia hanya memandang ke luar jendela. Pada barisan gedung-gedung bertingkat dan jalanan yang penuh oleh kendaraan.

Ia duduk di kubikelnya dengan tanpa satu aktivitaspun. Layar komputernya tak kunjung berubah. Masih menampilkan gambar yang sama. Masih menunjukkan lembar pekerjaan yang itu-itu saja. Ia bahkan tak menyentuh apapun yang ada di sana. Tidak dengan gawainya, tidak dengan buku dan alat tulis lainnya.

Ia melamun.

Ia merenungi perasaannya.

Ia tenggelam dalam kekecewaannya.

Dan aku hanya bisa terduduk di sampingnya. Memandangi wajahnya. Mencoba memahami apa yang ia rasakan, namun selalu gagal. Aku tak bisa mengerti. Aku tak tahu bagaimana rasanya. Aku tak bisa membayangkan menjadi dirinya dan merasakan semua kesedihan tersebut.

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang