Chapter 7

71 12 0
                                    


Abner benar, kita tak pernah tahu.

Mereka yang memberi tahu lewat apa yang mereka buat, lewat apa yang mereka putuskan. Mereka akan melibatkan akal dan perasaan mereka dalam membuat keputusan tersebut. Itu yang aku tahu kini.

Aku sudah melihat bagaimana perasaan manusia berubah-ubah. Mereka bisa berpindah dari senang menjadi sedih dalam waktu yang begitu singkat. Kecewa menjadi semangat, putus asa menjadi memiliki harapan, tenang menjadi marah, dan sebagainya.

Kadang, hal itu juga terjadi untuk waktu yang tak sebentar. Seperti aku melihatnya. Ia yang menghabiskan banyak waktu untuk dirinya sendiri. Untuk merenungi apa yang terjadi dan memahami perasaannya. Namun kemudian ia menyadari, bahwa hidup harus berlanjut.

Ketika ia membuka jendela kamarnya, ia tak sengaja melihat sarang burung yang terselip di antara ranting-ranting pohon. Sarang tersebut dibuat dari akar-akar dan ranting tipis yang sudah kering. Direkatkan entah dengan getah atau apapun. Tuhan telah menganugerahi cara yang luar biasa untuk setiap makhluk ciptaan-Nya.

Ia membuka daun jendela dan menyaksikan kehidupan di sarang itu. Ada sepasang burung yang tinggal di sana. Yang satu, entah jantan atau betina, terbang berputar-putar di sekeliling sarang. Sementara satu lainnya bertahan di dalam.

Tak ada yang tahu aktivitas di dalam sana sampai kepala seekor burung yang lebih kecil menyembul dari lubang sarang tersebut. Kepala itu nyaris botak tanpa bulu, dan ia baru menyadari ada anak-anak burung yang tinggal di dalam sana.

Segera, ia berlari turun dari kamarnya. Pergi ke gudang untuk mengambil tangga lipat dan susah payah membawanya ke pekarangan depan.

Ia melebarkan tangga lipat tersebut dan mendakinya. Ia tak ingin mengusik kehidupan keluarga kecil tersebut. Jadi yang dilakukannya adalah mengamati dalam jarak dan berusaha untuk tidak mengganggu sama sekali.

Dari tempatnya berpijak, ia menikmati apa yang ada dalam pandangannya. Suara keciap anak-anak burung itu menenangkan hatinya. Cukup lama ia berada di sana. Kini dengan kedua tangan yang ditumpuk di puncak anak tangga, dan dagunya bertumpu pada punggung tangan tersebut.

Suara ibunya memanggil mengalihkan perhatiannya. Suara itu sudah muncul beberapa kali dan mau tak mau ia harus menyahut juga. Tak hanya itu, kedua orangtuanya malah sudah berada di halaman depan beberapa saat kemudian.

"Kamu ngapain di situ?" tanya ibunya, setengah khawatir. Tentu, ibunya tak tahu apa yang sedang dilakukannya.

"Ada sarang burung, Ma. Ada anaknya juga."

Ayahnya cuma berkacak pinggang sambil menggeleng-geleng. Lalu hendak menghampirinya untuk ikut mengintip sarang tersebut.

"Ayo turun, bantu Mama bikin sarapan."

Ia menoleh dan melihat ayahnya sudah berada persis di bawah tangga. Maka, ia memutuskan untuk turun. Memijakkan satu kakinya, dan satu lainnya.

Entah, apakah ia bermasalah dengan ketinggian atau memang ceroboh manakala memanjat pohon. Salah satu kakinya terpeleset di anak tangga dan membuat ia terjerembab jatuh ke bawah.

Aku hanya bisa melakukan gerakan refleks secepat yang aku bisa. Kulebarkan kedua lenganku. Membiarkan ia jatuh tepat di atas tubuhku. Lalu membawanya turun, sementara sebelah kakinya malah tersangkut di anak tangga terbawah. Tiba-tiba ada dua lengan kokoh yang menembus dari balik tubuhku dan memeluknya kuat.

Kalita memekik kaget karena terjatuh. Aku berdiri persis di belakang sosok yang tak lain adalah ayahnya. Dan ia sudah berada aman di kedua lengan lelaki itu.

"Awas, Kal." Ayahnya sama terkejutnya seperti ia. Lalu membantunya turun perlahan-lahan sambil melepaskan kakinya yang tersangkut di anak tangga terbawah.

"Hati-hati kalau turun." Ayahnya menambahkan.

"Makasih, Pa." Ia mengucapkan kalimat itu kepada ayahnya.

Kejadian itu berlangsung begitu cepat dalam hitungan detik hingga mereka sama-sama tak menyadari kalau ia bisa saja terjerembab lebih kuat.

"Ayo masuk, tangganya Papa saja yang beresin," ujar ayahnya.

Ia menuruti apa yang ayahnya katakan. Beberapa langkah setelah meninggalkan pohon itu, ia sempat membalikkan badan. Menoleh kembali. Melihat bagian atas pohon tempat keluarga burung tadi bersarang, dan menoleh ke bagian bawah pohon, seperti mengira-ngira seberapa tinggi ia terjatuh.

Ia terdiam sejenak, sebelum melanjutkan langkahnya lagi.

* * *

Segala sesuatu... ada sebab yang menjadikan segala sesuatunya.

Aku semakin paham kenapa jalan cerita manusia berbeda-beda. Aku selalu mengatakan bahwa Tuhan lah yang mampu mengatur segala-galanya. Namun lebih dari itu, semua terjadi karena sebuah alasan. Tidak sekadar kejadian ini harus begini dan kejadian itu harus begitu. Akan tetapi pada akhirnya, kita akan memahami bahwa itu adalah rancangan yang luar biasa, yang saling terkait satu dengan yang lainnya.

Seperti percakapan keluarga itu di meja makan. Urusan patah hati bagi ayahnya adalah hal sepele. "Hari ini kamu jatuh cinta, besok kamu patah hati, lusa kamu bisa bertemu orang baru yang kamu sukai." Ia menasihati.

Sedangkan ibunya berpikir, patah hati adalah proses seseorang belajar menerima dirinya sendiri dan menerima bahwa tak semua yang kita inginkan akan terus terjadi seperti yang kita mau.

"Kamu kecewa, kamu marah. Enggak enak kan rasanya? Tapi kamu belajar untuk menerima perasaan tersebut. Itulah kita. Kita enggak bisa memilih mau berurusan dengan perasaan yang mana. Semakin kamu dewasa nanti, semakin banyak perasaan yang datang silih berganti. Kamu harus siap untuk berurusan dengan itu semua."

Ia memikirkan kata-kata kedua orangtuanya. Mencoba mengaitkan pesan yang diberikan ayah-ibunya. Mungkin dengan dua cara dan pandangan yang berbeda, tetapi sesungguhnya pesan tersebut saling mendukung satu sama lain.

Ketika kita jatuh cinta, kita menerima perasaan senang dan bahagia. Kita akan sangat menikmatinya. Ketika kita patah hati, datanglah perasaan sedih dan kecewa. Kita harus belajar untuk menerimanya. Dan esok, kita akan bertemu orang baru yang kita sukai. Ada perasaan takut untuk kecewa lagi, tetapi juga ada keinginan untuk kembali bahagia. Kita harus belajar untuk memilih. Menghidupi diri dengan kebahagiaan, atau membiarkan luka tetap bersarang di hati.

Ia menyelesaikan sarapan itu dan bergegas kembali ke kamarnya. Beberapa potong pakaian ia keluarkan dari dalam lemari. Ia pergi ke kamar mandi dan menyalakan pancuran air dingin dengan deras.

Ia berganti pakaian setelahnya, merapikan tatanan rambutnya, mengambil tas bertali satu yang digantung di dinding. Dan memeriksa penampilannya sekali lagi di depan cermin. Seulas senyum muncul di wajahnya. Senyum yang sama yang dimilikinya sebelum ia patah hati.

Ia sudah ke luar kamar namun kemudian kembali lagi. Ia kembali untuk sesuatu yang ada di meja belajarnya. Benda yang ia gunakan semalam untuk mencurahkan perasaan.

Untuk buku harian itu, ia kembali.

* * *

Angin berembus lembut. Tak ada suara gemersik sebab daun-daun hanya bergoyang perlahan di antara dahan-dahan. Ia sedang duduk di sana. Di tepi kolam yang luas dengan bebek-bebek berwarna cokelat yang berenang di dalamnya. Beberapa temannya sudah dikabari, dan mereka janji akan segera datang menyusulnya ke tempat ini.

Beberapa langkah, cukup jauh di belakangnya, aku mengamati dia sedang menulis-nulis di buku hariannya. Abner berdiri di sebelahku, memandang ke arah yang sama.

"Kau tidak sedang berharap kalau ia mengingatmu, kan?" tanya Abner.

Aku tak tahu.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang