Chapter 5

80 16 2
                                    


Seperti apa rasanya jatuh cinta?

Seperti matahari pagi yang hangat. Seperti gerimis yang turun memberi kesejukan. Seperti malam dengan cahaya bulan yang terang. Semerdu gemersik daun yang diterpa angin. Seindah padang rumput yang hijau. Setenang ombak yang menyapu butiran pasir di pantai.

Aku hanya bisa menganalogikan dengan kalimat. Kalau aku bertanya pada malaikat-malaikat lainnya. Mereka hanya berkata, jatuh cinta itu seperti senyum Tuhan atas setiap kebaikan yang dilihat-Nya. Sesederhana sekaligus sesulit itu.

Sederhana, karena aku langsung bisa membayangkan bagaimana Tuhan tersenyum karena sesuatu. Sulit, karena aku tak bisa mencari kalimat lainnya untuk menggambarkan perasaan tersebut.

Dia, Kalita dan jatuh cinta pertamanya. Telah menunjukkan padaku hari-hari yang berbeda. Ada semangat yang diperbarui setiap pagi. Ada penantian untuk esok hari setiap kali ia pulang ke rumah. Ada senyum yang melengkung dalam lelapnya di tidur malam.

Terkadang, kepak sayap mengembalikanku ke langit. Aku melihat kerlap-kerlip lampu malam di sekitar kehidupannya. Aku akan menanti hari berganti. Aku menunggu ia terjaga untuk kembali lagi.

Dari atas sini―di sebelahku, Abner, yang tubuhnya diselimuti cahaya, bertanya padaku, "Bagaimana rasanya menjaga seorang manusia yang sedang jatuh cinta?"

"Lebih mudah."

"Kenapa begitu?"

"Lingkar kehidupannya menjadi lebih sempit. Ia akan bermain di seputar perasaannya saja. Dan ia menjadi lebih kuat, lebih acuh pada masalah orang lain, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk terluka oleh sekitarnya. Ia hanya fokus pada dirinya dan kebahagiaannya saja."

Abner menatap lurus jauh ke bawah. Memandang kepada Kalita yang sedang lelap dalam tidurnya. Lalu Abner menoleh ke arahku dan berkata.

"Bersiaplah jika ini menjadi lebih sulit."

"Kenapa?"

"Karena kita tidak bisa menjaga perasaannya terus menerus. Kita tidak punya kuasa. Kalau manusia patah hati nanti. Mereka bisa merusak diri sendiri."

"Apa mereka tidak bisa jatuh cinta selamanya?"

Abner hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. "Kau belum melihat lebih banyak seperti apa manusia itu."

Dan ia melebarkan sayapnya kemudian. Melompat turun dari langit. Kembali ke bumi. Kembali pada tugas-tugasnya lagi.

* * *

Selama beberapa menit lamanya, aku cuma berdiri di salah satu sudut lapangan ini. Melihat ia yang sedang mencoba melempar bola basket ke keranjang. Ini adalah salah satu pengalaman terbarunya. Ia tak menyukai olahraga. Namun ia ingin menyenangkan hati lelaki itu. Seperti yang kubilang, cinta mampu membuat seseorang mencoba hal-hal yang tidak disukai sebelumnya.

Lemparannya terlihat payah. Tangannya terlihat lemah. Mikha dengan sabar mengajarinya kembali. Memberitahu bagaimana seharusnya tangan itu menolak bola. Di titik mana kekuatan itu mesti dipusatkan.

Aku bisa saja membantunya. Aku punya kesempatan untuk memberikan dorongan pada bola itu, atau menggeser posisinya jika hampir melenceng ke dalam keranjang. Akan tetapi, tak kulakukan karena ia tampak menikmati apa yang tengah dilakukannya saat ini.

Saat ia akhirnya bisa memasukkan bola satu kali dan melonjak girang. Ia menyudahi aktivitasnya dengan berjalan ke pinggir lapangan. Mikha mengikuti langkahnya. Selebrasi tak berhenti sampai di situ. Mereka tertawa girang dan Mikha memuji usahanya yang tak kenal lelah.

"Gimana roti bakarnya kemarin?" tanyanya, setelah ritme napasnya berangsur normal.

Mikha melipat kakinya yang semula berselonjor. Ia duduk bersila dan setelah meneguk air putih dari botol, ia menjawab pertanyaan Kalita kemudian. "Habis. Ludes. Enak banget sih. Teman-teman aku sampai rebutan mau nyobain juga."

"Oh ya?"

Mikha mengangguk. "Kamu suka masak ya?" tanyanya.

Kalita menggumam sebentar, "Baru mulai belajar."

"Wah, hebat dong. Baru belajar tapi sudah bisa bikin masakan yang enak."

"Karena yang ngajar orang hebat juga."

"Siapa yang ngajarin kamu?"

"Mama aku."

Lelaki itu mengangguk-angguk. Memberi pujian yang terdengar tulus. "Kalo gitu, aku harus main ke rumah kamu untuk cobain masakan dari guru kamu."

"Kamu boleh datang kok. Tapi supaya dibukain pintu, kamu harus bawa kopi karena Papa aku suka kopi."

* * *

Percakapan sore itu hanyalah sebuah permulaan dari apa yang disebut sebagai hidup yang baru baginya. Mikha tak sekadar berani lewat kata-kata. Ia datang pada suatu sore. Mengetuk pintu rumah Kalita, dan seperti apa yang dikatakannya, ayahnya lah yang membukakan pintu.

Mikha dipersilakan ikut duduk di meja makan. Tak lupa ia membawa benda yang dijadikan syarat undangan. Kopi yang disimpan dalam kantong kertas sudah ia berikan saat bertemu sang Kepala Keluarga di halaman rumah tadi.

Mikha tak berusaha menjadi orang lain. Ia tak ingin membual dengan berpura-pura tahu soal kopi. Ketika ayah Kalita bertanya, ia menjawab terus terang, membeli kopi itu dari sebuah kedai kopi kecil. Ia diberi banyak pilihan dan hanya minta disiapkan kopi yang cocok untuk orangtua. Maka, dipilihlah kopi Toraja tersebut.

"Om punya juga satu stoples. Isinya tinggal setengah. Kalau dicium dari aromanya. Ini asli. Pasti rasanya enak. Mau dibuatkan?"

Ayahnya bicara panjang lebar. Mungkin ingin mengenalkan kenikmatan minuman itu kepada tamunya. Kalita tak melarang, meski ia melihat kalau Mikha beberapa kali melirik ke arahnya.

Aku tak ingin mencampuri urusan mereka. Aku hanya ingin tahu bagaimana mereka saling mengelola hubungan ini nantinya. Mikha yang terlihat berusaha untuk diterima di keluarga ini tetapi dengan sikap yang tenang dan santai. Juga keramahan keluarga Kalita yang menyambut tamu mereka.

Kopi telah dibuatkan dalam cangkir. Obrolan antara ayah dan teman lelakinya bergulir begitu saja. Sementara ia dan ibunya mulai menata penganan di atas meja. Diletakkan dengan rapi dan terlihat indah. Tentu, sebab kata menggiurkan tak bisa kutangkap seperti apa maknanya.

Percakapan terus berlanjut sebelum makan malam dimulai. Kedua orangtua Kalita paling bisa diandalkan dalam hal menciptakan obrolan. Kalau ada hal yang kemudian menyatukan mereka semua. Tentu karena keterbukaan keluarga itu, dan sikap Mikha yang berusaha menjadi tamu yang baik.

Seperti apa hubungan itu selanjutnya? Tentu, semua orang sudah bisa menebak. Jatuh cinta telah bermuara pada akhirnya, yaitu sebuah hubungan. Perasaan cemas dan jantung yang berdegup kencang sudah tak ada ketika ia akan bertemu lelaki itu. Sebagai gantinya adalah sebuah keyakinan kalau ia akan selalu dinanti.

Tuhan menciptakan takdir. Aku tak bermain di dalamnya. Manusia dan pilihan-pilihannya lah yang menentukan apakah hal itu akan terjadi atau tidak. Namun tampaknya, semua memang berjalan dengan mudah dan sebagaimana mestinya.

Aku bilang, menjaga mereka yang sedang jatuh cinta rasanya lebih mudah. Namun Abner bilang, bersiaplah jika itu menjadi lebih sulit nanti. Aku tak tahu dan tak bisa menebak. Semuanya terjadi dengan mudah. Jatuh cinta itu terasa begitu alami.

Sealami sesuatu yang terjadi pada cinta kemudian.

Ketika cinta menjadikan hati patah.

Ketika segala yang mudah berganti menjadi sulit.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang