Chapter 17

21 5 0
                                    

Abner hanya menyeringai saat ia datang ke ruangan tersebut.

"Kau tahu kan siapa yang dia cari?" tanya Abner, melirik pada Kalita yang sedang bertopang dagu di hadapan layar komputernya.

"Kau juga mau memberi tahu, apakah yang tadi itu perbuatanmu?" tanyaku, menduga rekaman yang hilang tersebut adalah perbuatan Abner.

"Kalau mereka melihatnya dan menemukan ia sedang berteriak pada kekosongan, suasana akan lebih gempar lagi. Memangnya, petugas itu mau melihat diri mereka tengah menarik-narik sesuatu yang tidak ada?"

"Hidup ini rumit ya." Aku berkomentar.

"Tidak ada yang rumit. Hidup ini sederhana. Manusia yang membuatnya menjadi demikian rumit. Coba bayangkan kalau ia tidak jatuh cinta pada lelaki itu. Kau tak perlu menampakkan dirimu di depannya. Tidak ada penampakan dirimu, maka tidak ada keributan. Tidak ada keributan, maka tidak perlu memeriksa rekaman. Sekarang, di bawah sana, sudah ada tim yang datang untuk memeriksa semua rekaman kamera di gedung ini."

Aku menyelinap ke dalam kubikel Kalita. Abner bersandar pada dinding kubikel tersebut. Aku mengamati raut wajahnya yang tampak masih terus berpikir. Apa yang dipikirkannya? Aku hanya bisa menduga. Apakah ia masih memikirkan soal kejadian kemarin? Apakah ia memikirkan rekaman yang hilang itu? Atau ia tengah...

"Dia memikirkanmu," ujar Abner. Menyambung apa yang ada di benakku.

* * *

Ia mengetuk-ngetukkan ujung pensil di atas buku hariannya. Ia tak menulis apapun di sana. Hari ini ia sangat tidak produktif. Layar komputer dan buku catatan menjadi saksi betapa ia telah menghabiskan banyak waktu dengan sia-sia.

Ia memilih pergi ke pantry untuk membuat secangkir teh hangat. Camilan di laci meja dikeluarkan dan dituangnya ke dalam mangkuk keramik. Maria yang mendengar aktivitas tersebut langsung melongok ke dalam kubikelnya.

"Feel better?"

"I wish."

Tangan terampil Maria langsung mencomot beberapa keping keripik dan ikut menikmatinya. Ia melihat ke arah buku harian Kalita yang tergeletak di atas meja. Sudah lama sekali tak ada pembaruan pada buku harian tersebut. Sejak Theo hadir dalam hidupnya, ia sudah memiliki sarana untuk menumpahkan perasaannya ketimbang lembar-lembar usang yang dulu begitu setia menemaninya.

"Apa yang lo tulis di situ?"

"Many things."

Kedua alis Maria terangkat.

"Curhat, gambar, apa saja." Kalita menjelaskan.

Maria mengambil lagi beberapa keping keripik. Memasukkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya hingga menimbulkan suara kriuk.

"Better you write again. Gue kerja lagi. Nanti, gue tengok lagi ya kalau lo butuh teman ngobrol."

Kalita hanya mengangguk mengiyakan. Namun sebelum Maria benar-benar hilang dari pandangannya. Ia memanggilnya kembali, bertanya sesuatu.

"Do you believe in angel?" tanyanya.

* * *

"Jangan membuat dirimu berada dalam kebodohan." Abner mengingatkan. Kamar ini remang dengan hanya lampu tidur di nakas yang dinyalakan. Ia rebah di tempat tidurnya. Mengenakan penutup mata dan memasang pelantang telinga. Pasti ia kelelahan karena kurang tidur semalam.

"Kau yang berkata padaku untuk membuat pilihan." Aku menjawab ucapan Abner tadi.

"Apa karena ia mencarimu, kau yakin ia tahu siapa dirimu?"

"Hari ini ia menggambar sepasang sayap lagi."

"Bagimu, itu cukup?"

Aku berpindah, duduk di tepi tempat tidur. Berada persis di sampingnya. Menatapi dirinya yang masih rebah.

"Kontak pertama kami terjadi ketika ia masih kanak-kanak dulu. Buku harian itu, kau melihatnya, kan? Di lembaran itu ada gambar sepasang sayap. Itu gambar yang pertama kali dia buat dulu. Dan hari ini, ia menelusuri halaman demi halaman buku harian tersebut. Mencari gambar yang dibuatnya dahulu."

"Dan ia menggambar bentuk sayap yang sama." Abner menambahkan. "Entah karena hanya bentuk itu yang bisa ia buat, atau ia benar-benar mengingatmu. Itu kan yang tengah kaupikirkan sekarang?"

Abner mendekati buku harian milik Kalita yang terbuka. Buku tersebut tergeletak di atas nakas. Di bawah paparan sinar lampu tidur berwarna kuning.

Abner mendekatkan telapak tangannya ke buku tersebut. Tanpa menyentuhnya, lembar-lembar halaman buku itu terbuka dengan sendirinya. Abner mengamati gambar yang dibuat Kalita hari ini. Sepasang sayap. Hanya sepasang sayap. Tidak ada tulisan apapun di sana. Hanya goresan pensil serupa sketsa.

"Hidup ini misteri, Gasparo. Apa yang dialami manusia dan jalan hidup mereka tak akan pernah bisa kita tebak. Sekalipun kita menjaga mereka di sepanjang hidupnya. Kita tak akan tahu akhir yang bagaimana yang akan mereka alami. Jangankan untuk akhir. Untuk esokpun kita tak tahu."

"Sudah jelas ia mengingatku," jawabku.

"Ia mencari sosok yang ditemuinya. Tapi aku harus katakan kepadamu, bahwa ia menelusuri apa yang ada di dalam ingatannya."

"Besok saat ia bangun pagi. Ia akan melanjutkan pencarian itu."

"Kenapa kau begitu yakin?"

Aku menatap Abner lurus. Ia masih berdiri di samping nakas. Berjarak begitu dekat dari buku harian itu. "Karena selalu ada kemungkinan untuk sesuatu terjadi. Itu yang membuat mereka bergerak. Itu juga yang membuat mereka tak menyerah."

"Kemungkinan? Tak menyerah? Kau sedang bicara tentang apa, Gasparo?"

"Tentang harapan, Abner. Harapan."

* * *

Harapan? Tahu apa kita tentang harapan?

Abner tak sepaham. Aku juga tak paham kenapa ia mesti atau tidak harus sepaham? Pemahaman bahkan adalah sebuah kata yang baru kudapati saat ini. Dulu, aku tak pernah memikirkan hal tersebut. Dulu, aku tak merasa harus memikirkannya. Aku bahkan menggunakan kata merasa saat ini, seolah aku memang benar-benar punya perasaan.

Malam ini, buku harian tersebut ada di pangkuanku. Gambar sepasang sayap yang ia buat dan halaman-halaman kosong yang entah nantinya akan ia isi dengan apa. Gambar sayap lainnya kah? Tulisan-tulisan tentang curahan hatinya yang tak bisa ia sampaikan kepada manusia? Atau sekadar coretan untuk meluapkan emosi?

Malam semakin larut. Ia sudah benar-benar jatuh dalam lelap. Dan aku tetap terduduk memandanginya. Wajahnya yang tak lagi diliputi gelisah. Tak ada tangis dan sedih yang muncul di sana. Ia beristirahat dengan sebuah kelegaan seperti beban yang dilepaskan perlahan-lahan.

Lalu, segurat senyum muncul di wajahnya. Tiba-tiba.

Sedang bermimpikah ia?

Bermimpi apa?

Jika saja aku tahu. Jika saja aku merasa. Jika aku tahu bagaimana rasanya bermimpi atau menemukan mimpi dalam tidurku.

Namun aku bukan manusia. Kecuali jika aku adalah mereka. Maka aku akan tahu bagaimana menjadi dirinya.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang