Chapter 26

67 9 1
                                    

Dari dalam panci itu mengepul uap panas.

Ia mengaduk-aduk sup buatannya. Mencampur bumbu dan bahan-bahan lainnya hingga rata. Aku duduk di meja makan, mengamati apa yang tengah dilakukannya.

Tanpa persetujuan dariku. Ia meletakkan mangkuk keramik putih dan sebuah sendok berwarna senada dan berbahan sama dengan mangkuk tersebut. Masakan yang baru diangkat dari kompor dituangkannya untukku dan dirinya sendiri.

Aku mencelupkan sendok, mengisi penuh-penuh dan menyuapkannya ke dalam mulut. Ia nyaris berteriak melihat apa yang kulakukan. Namun ketika kuah sup itu mengisi rongga mulutku dan tak ada reaksi apapun yang muncul. Ia terdiam dan menahan suara di mulutnya.

"Kamu tidak kepanasan?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Seperti apa rasanya?" tanyanya kembali.

Aku mengedikkan bahu. "Seperti cairan yang basah di dalam mulut." Dan ia hanya merespons dengan seringai tawa.

"Setidaknya kamu sudah menghargai apa yang kubuat dengan menikmatinya." Ia melanjutkan. Mungkin ia tak tahu kalau aku tak bisa menikmatinya. Mengetahui rasa dan teksturnya. Atau apapun yang ada di dalam mangkuk ini.

"Aku ingin bertanya sesuatu," ujarku, di sela-sela aktivitas kami.

"Iya?" Responsnya, lalu meniup-niup kuah sup di sendok, sebelum menyuapkannya ke dalam mulut.

"Apa arti keberadaanku buatmu?"

Ia meletakkan sendoknya di samping mangkuk. Berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaaku kemudian.

"Mengetahui bahwa aku memiliki seorang malaikat penjaga adalah hal terbaik yang kupunya. Bisa bertemu dan berinteraksi denganmu adalah sebuah keajaiban. Aku senang bisa melakukan ini bersamamu. Dan aku bahagia untuk momen-momen yang kita punya selama beberapa waktu belakangan."

Aku menjentikkan jariku. Tirai-tirai di jendela dapur turun dengan sendirinya. Membuat ruang makan yang semula benderang, berubah sendu seolah senja telah tiba. Dan lilin-lilin di atas meja menyala dengan sendirinya.

Antara terkejut sekaligus takjub. Namun keremangan di ruangan ini menghadirkan nuansa yang berbeda. Apakah ini yang disebut dengan suasana romantis? Aku tidak tahu. Aku hanya menciptakan apa yang pernah kulihat di televisi. Yang dilakukan oleh manusia juga.

"Aku ingin meminta sesuatu kepada Tuhan," ujarku setelah itu.

"Sesuatu? Apa itu?"

"Aku ingin menjadi sepertimu. Menjadi manusia."

Ia terdiam selama beberapa saat. Menatapku tanpa berkedip.

"Aku tak mau kita kehilangan memori bersama. Aku ingin merasa seperti caramu merasa. Aku ingin tahu seperti apa memiliki itu. Aku ingin tahu rasanya berharap. Aku ingin mempunyai impian bersama. Aku ingin segalanya berlalu dengan cara kita memiliki kesempatan di dalamnya. Bersama."

Ia masih terus menatapku. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan tentang ini, "Bagaimana jika hal tersebut tak bisa terjadi?"

"Aku akan berusaha. Sampai benar-benar terjadi."

Ia bangkit dari duduknya dan pergi ke satu sudut meja di dapur. Meletakkan kedua tangannya di sana. Menelusuri serat-serat marmer yang tercetak di meja.

"Aku tak tahu tentang kehidupan ini. Kamu begitu yakin. Tapi aku takut. Aku takut yang kamu harapkan. Yang aku harapkan. Tak akan pernah terjadi begitu," ujarnya tanpa membalikkan tubuh ke arahku.

"Maka percayalah."

"Apa jaminannya?" Ia bertanya.

Aku ikut bangkit dan menghampirinya. Meraih lengannya. Meminta ia menoleh kepadaku.

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang