Chapter 9

60 11 0
                                    


Jatuh cinta...

"Kau melangkah semakin jauh rupanya."

"Aku tidak kemana-mana," sahutku kepada Abner.

"Kau melewati lingkaran dimana seharusnya berada. Apakah yang mereka lakukan membuatmu ingin tahu?"

Abner tak bergeming di sampingku. Ia menunggu jawabanku. Padahal ia tahu, bahwa keingin tahuan bukanlah sifat alami kami sebagai malaikat. Kami hanya dibekali apa yang perlu kami tahu, dan itu saja sudah cukup untuk sekadar menjalankan tugas.

"Kau sudah melihat bagaimana mereka menjalani hidup. Kau pasti tahu bagaimana hidup mereka berubah dari hari ke hari. Kau pasti memahami cara mereka merasa, bagaimana mereka menginginkan sesuatu, atau sebaliknya membenci dan menghindari yang tidak mereka sukai."

"Dan sekarang kau penasaran?"

"Aku bahkan tak tahu penasaran itu bagaimana."

Abner mengibas-ngibaskan lengannya ke udara. Sebuah gumpalan seperti awan tipis terbentuk. Gumpalan tersebut bercahaya terang seperti dirinya. Dari gumpalan tersebut, sebuah kilasan kejadian seperti film yang diputar ulang muncul. Itu adalah salah satu kemampuan Abner.

"Aku melihat semuanya. Aku melihat dirimu berada di dalam kehidupan Kalita selama ini. Tuhan memberimu tugas untuk menjaga dia, bukan memahami dirinya."

"Aku belajar mengenali perasaan yang dia miliki."

"Tidak." Abner menolak. "Kau tidak belajar mengenalinya. Kau ingin merasakan perasaan itu." Abner mengoreksi jawabanku.

"Kau seharusnya tetap pada tujuan penciptaanmu, Gasparo. Tidak lebih." Abner mengembangkan sayapnya lebar-lebar. Ia menatapku lama sebelum pergi. "Ingat apa yang kukatakan, Gasparo," tutupnya, melemparkan tubuh dengan posisi rebah dan berbalik dengan kepakan yang kuat kemudian.

* * *

Fase jatuh cinta telah dimulai kembali.

Theo tak sekadar menarik perhatiannya. Lelaki itu mampu membuatnya bertahan dalam obrolan. Ia bahkan membuat Kal melupakan sejenak segala hal di masa lalu yang berkaitan tentang perasaan. Seperti bagaimana cinta itu, dan apa yang bisa terjadi pada manusia karena cinta.

Ia memang pandai membawa diri. Ia tahu berhadapan dengan siapa. Sekilas, aku melihat sebagian sosok Mikha ada pada dirinya. Mikha mempelajari lingkungan di sekitarnya. Ia berusaha mengenali lebih dulu orang-orang yang akan dihadapinya, baru memainkan perannya untuk membuat orang lain menyukainya. Seperti itulah cara Theo bekerja.

Tak butuh waktu lama bagi Kalita untuk menyukai lelaki itu. Segera saja, teman sebelah kubikelnya tahu kalau ia sedang jatuh cinta. Selain karena mereka mengenali bagaimana rupa Kalita ketika bicara tentang sosok itu sekarang. Ia juga punya aktivitas tambahan seperti membalas pesan, menjawab telepon, atau menunggu jam kantor usai untuk pulang bersama.

Malam itu, selepas kerja, mereka tak segera pulang ke rumah masing-masing. Theo mengajak Kalita menonton penampilan teater di sebuah komunitas seni dan sastra di pinggiran kota.

Tempat itu artistik dan memberi kesan yang menyenangkan. Ada dua bangunan utama. Satu menyerupai rumah, dan yang satunya lagi berlantai dua dengan ukuran yang lebih besar. Dindingnya sengaja tidak diberi cat, namun ada kesan modern dan unik dengan berbagai ornamen seni yang dilekatkan di sana, juga mural-mural besar di salah satu bagian dindingnya―satu-satunya yang bercat.

Theo mengajak Kalita masuk ke gedung yang lebih besar terlebih dahulu. Ia tak hadir sebagai sosok tunggal yang sudah dikenal banyak orang. Ia mengenalkan Kalita kepada mereka semua. Kalita menyukai orang-orang yang ada di sini. Buatnya, mereka nyentrik dan tampil berkarakter. Mereka menjadi diri sendiri. Berpakaian seperti yang mereka suka. Menata rambut seperti diri mereka apa adanya.

Ada seorang pria paruh baya berambut gondrong yang sudah hampir seluruhnya berwarna putih. Ia mengenakan kaus hitam bergambar band rock dengan celana jeans yang sudah sobek-sobek. Tubuhnya harum dan ia sama sekali tak terlihat seperti anak jalanan. Lalu ada perempuan bertubuh jangkung yang rambutnya dicat dengan warna tosca. Sepertinya ia pekerja atau kurator di tempat ini. Ada juga pria pendek dengan topi koboynya, perempuan berambut cepak yang mengenakan jaket hoodie, dan banyak yang lainnya.

"Temanmu banyak sekali," ujar Kalita, berbisik kepada Theo.

"Mereka memang biasa nongkrong di sini," jawab Theo. "Aku beli tiket dulu untuk kita ya," ujar Theo, meninggalkan Kalita kemudian.

Sambil menunggu Theo, Kalita melangkah mengitari ruangan di gedung ini. Ia mengamati rupa-rupa karya seni. Terutama lukisan yang menurut keterangan yang diberikan, menggunakan material lumpur dari sebuah insiden di Negara ini. Lukisan tersebut adalah bentuk kritik sosial atas ketidak sanggupan pemerintah menanggulangi bencana dan merekonstruksi kehidupan yang terdampak atas bencana tersebut.

Selesai dari ruangan ini, ia berjalan ke sisi ruangan lainnya. Ia tertarik dengan karya fotografi yang dipajang di sana. Semua bertema monokrom. Ia mengamati satu demi satu. Terkadang ia mampu bertahan di depan satu karya lebih lama dari karya lainnya. Namun terkadang ia hanya melihat sambil lalu.

Salah satu yang menarik perhatiannya letaknya hampir berada di pojok ruangan. Foto itu menampilkan seorang anak yang digandeng oleh seorang lelaki dewasa. Mereka berdiri dengan latar sebuah dinding beton dan cahaya matahari datang dari depan. Pandangan mereka tertuju satu sama lain. Bayangan tubuh mereka menempel pada dinding beton tersebut. Satu bayangan milik si lelaki dewasa, dan satu bayangan milik si anak kecil. Namun ada yang berbeda dari bayangan tersebut. Ada sebentuk sayap yang menempel di punggung anak itu.

Kalita tertegun cukup lama di sana. ia menempelkan jari telunjuk dan jari tengahnya pada foto yang terbungkus bingkai tersebut. Menelusuri bentuk bayangan si anak kecil dengan ujung jarinya.

Gambar-gambar itu adalah intepretasi manusia atas diri kami. Aku hanya mengizinkan diriku untuk terlihat di depannya satu kali seumur hidupnya―dulu ketika ia masih kecil. Aku tampil tanpa kedua sayapku. Gambar-gambar yang ia buat di buku hariannya tak pernah ia lihat dalam dunia nyata. Foto yang tengah dipandanginya saat ini juga bukan realita.

Jika ia terus mengamati dan tertarik pada apa yang ada di hadapannya. Aku tak tahu, kenapa ia melakukan itu. Aku tak tahu arti sepasang sayap yang pernah ia gambar dulu. Juga gambar-gambar dan tulisan lainnya di buku harian itu. Abner bilang, tak ada keinginan lebih jauh pada diri kita untuk memahami apa yang manusia lakukan, terlebih menduga diri mereka dari apa yang tidak tampak.

Namun kali ini, aku menolak itu semua.

Aku ikut meletakkan tanganku pada lukisan tersebut. Aku melihat wajahnya dan mencoba memahami apa yang tengah ia pikirkan saat ini. Jika ada kuasa, apakah itu bisa terjadi? Aku tak tahu. Kupejamkan mata, melihat lebih jauh dari apa yang bisa kulihat. Gambaran-gambaran kejadian bermunculan. Suara tangis pertamanya, orang-orang yang bicara di sekelilingnya, tawanya ketika bermain di taman, tangisnya saat patah hati pertama kali, buku harian yang dibawanya, ia yang sedang merenung di kamarnya seorang diri, ia menulis sesuatu. Aku... aku tak bisa menjangkaunya.

"Kal..." panggilan itu melenyapkan semua gambar-gambar tersebut. Lelaki itu berdiri di sana, berjalan menghampirinya. "Aku cari kamu," ujar lelaki itu.

"Sedang melihat ini," jawab Kalita pendek, menarik kedua jarinya yang masih menempel di foto.

"Itu cuma karya seni."

"Sedikit mengintepretasi."

"Anak-anak adalah malaikat. Analogi untuk manusia yang belum punya dosa. Dan orang dewasa penuh dosa. Memangnya kamu tahu berapa usia malaikat? Kalau mereka lebih tua dari kita, seharusnya sudah lebih banyak dosa yang dibuat." Lelaki itu bicara panjang lebar.

"Asumsi."

"Intepretasi."

Kalita tertawa. "Mereka, para malaikat, tidak seperti ini. Setidaknya buatku. Itu yang aku percaya."

"Memangnya kamu kenal mereka?"

Kalita tak menjawab, tawanya berubah menjadi seringai tanpa suara. Ia melangkah meninggalkan ruangan dan foto ini. Lelaki itu, terus berada di sebelahnya.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang