Chapter 3

128 21 0
                                    


Apakah ia tahu?

Tak ada yang bisa menebak persis kecuali dirinya sendiri. Gambar itu tak pernah dihapus atau dihilangkannya. Kelak hingga ia dewasa nanti, sekalipun lembaran-lembaran kertas yang semula berwarna merah muda perlahan berangsur menguning, ia tak menyingkirkan juga buku harian itu dari hidupnya.

Ia adalah seseorang yang selalu menyimpan barang-barang yang memiliki kenangan. Sepatu bayinya yang sudah tersimpan di gudang, ia ambil kembali dan disimpan dalam kotak kenagan di kamarnya. Di dalam kotak itu juga ada foto dirinya ketika masih berada di ruang persalinan Rumah Sakit. Kado spesial dari sang Ayah saat perayaan ulang tahun pertamanya. Ikat rambut yang diberikan sang Nenek sepulang dari liburan. Dan berbagai benda penuh cerita lainnya.

Mungkin tak akan ada gambar sayap lainnya setelah itu. Tak juga ia mencari sosok yang ia sebut memiliki nama yang aneh. Ia beranjak remaja kini, dan mulai berpikir logis tentang banyak hal.

Terkadang, ia tampak mengingat-ingat kejadian yang pernah dialaminya ketika kecil dulu. Ia bisa saja memikirkan bagaimana dirinya terjatuh dari pohon tanpa luka. Namun yang berbeda adalah, dulu ia menduga ada kekuatan misterius yang menolongnya. Sedang sekarang ia berpikir, kalau tubuhnya terlalu ringan untuk terjatuh dengan cedera.

Seiring waktu, ia mulai mengeksplorasi berbagai macam perasaan. Ia memiliki lebih banyak hasrat kini. Emosinya pun berubah. Menjadi lebih mudah naik turun. Terkadang hal itu menjadikannya sangat sensitif. Pertanyaan-pertanyaan yang dulu diajukan ayahnya dan ditanggapi dengan wajar, kini menjadi seperti interogasi.

"Kok baru pulang jam segini, Kal?" Seperti itu misalnya.

"Aku enggak main kemana-mana kok. Cuma ada tugas kelompok di rumah Ditha tadi." Ia menjawab dengan lirikan yang tak bersahabat. Ibunya yang selalu lebih tenang, mesti menjelaskan kepadanya kalau maksud pertanyaan ayahnya hanyalah sebentuk perhatian orangtua kepada anak.

"Kalau Papa enggak percaya, lain kali Papa jemput aku pulang sekolah, terus antar aku ke tempat belajar kelompok."

Ayah ibunya saling berpandangan, tak mengerti kenapa respons yang diberikannya menjadi sangat emosional. Selepas pertanyaan itu, ia bahkan tak turun dari kamar tidurnya. Ibunya mesti memanggil beberapa kali agar ia mau turun untuk ikut makan malam. Dan ia hadir di meja makan dengan wajah cemberut.

* * *

Aku tetap mengamatinya.

Mengawasi hari-harinya yang tak melulu dihabiskan di rumah dan sekitarnya kini. Ia akan berangkat pagi hari ke sekolah. Dua kali dalam seminggu ada kegiatan ekstrakulikuler yang harus diikuti hingga sore hari. Di hari lainnya, tugas-tugas kelompok sudah menanti.

Terkadang, jika beban pelajaran tengah longgar, ia akan memanfaatkan waktu untuk pergi ke bioskop, menghabiskan waktu di warung makanan cepat saji, atau di kedai minuman yang selalu dipenuhi oleh remaja-remaja seusianya.

Ia tak hanya punya banyak aktivitas kini. Tetapi juga, banyak orang di sekitarnya yang mesti disapa, janji-janji yang mesti ditepati, cerita-cerita yang mesti didengarkan, dan perayaan-perayaan seperti ulang tahun yang mesti dimeriahkan.

Lingkar keberadaanku tak lagi sebatas dunia kecilnya dulu. Ada Ditha si gadis kaya raya yang menyediakan rumahnya untuk belajar kelompok asalkan ia bisa menumpang nama di tugas tersebut. Mella yang selalu mengeluh tak punya uang jika diajak nongkrong sehabis pulang sekolah. Kevin yang lebih senang bergaul dengan anak perempuan ketimbang anak-anak lelaki di sekolah. Mang Ujang pedagang bakmi langganan. Aldrich, peramu kopi di sebuah kedai favoritnya. Tania, Niki, Ruth, Teddy, Leo, Mira, dan berbagai nama lainnya.

Aku tahu semua nama-nama itu. Aku melihat apa yang ia lakukan bersama orang-orang itu. Mana yang membuatnya tersenyum ramah, dan mana yang membuatnya bicara ketus. Aku menyaksikan bagaimana hidup telah mengubah gadis kecil itu menjadi seorang remaja yang dunianya bahkan lebih riuh dari keramaian di pusat kota.

Tak ada lagi langkah kecil yang belajar menatih di ruang tengah rumahnya. Yang ada kini adalah upaya ia untuk mempelajari dunia. Mencari tahu lebih banyak tentang manusia, hubungan, dan bagaimana ia memutuskan keinginan-keinginan yang hendak dicapainya.

Jangan tanya dimana aku dan kenapa aku masih ada di sisinya.

Saat ini, aku pun ingin tahu cerita hidup manusia.

Cerita tentang dirinya.

* * *

Ini adalah pertama kalinya aku melihat sesuatu yang berbeda.

Ia tidak sedang menceritakan nama-nama yang kutahu. Ia bicara tentang sesuatu yang membuat ia tersenyum. Ia mengatakan kepada temannya lewat telepon tentang jantung yang berdebar-debar dan perasaan yang tak menentu. Tentang desir di dada dan kecemasan yang muncul manakala ia berserobok pandang. Ia mengaku sulit menguasai dirinya ketika hal itu terjadi.

Hal yang ia kenali sebagai kasmaran.

Hal yang terjadi ketika ia bertemu seseorang. Sosok lelaki yang kemudian kuketahui sebagai kakak kelas di sekolahnya. Yang dipertemukan olehnya di sebuah kegiatan kunjungan ke musem.

Lelaki itu bernama Mikha. Nama yang digunakan banyak manusia yang diambil dari salah satu malaikat tertinggi di sisi Tuhan. Lelaki itu berambut sedikit ikal yang kadang terlihat berantakan karena ujung helainya yang nyaris menutupi mata.

Aku tak tahu bagaimana cara perasaan bekerja. Segala sesuatu tentang lelaki itu telah menyedot sebagian besar perhatiannya. Tentang bagaimana penampilan lelaki itu, bagaimana cara ia bicara, hobinya, teman-teman di sekitarnya, apa yang ia lakukan setelah pulang sekolah, kenapa banyak anak perempuan bersaing untuk terlihat menarik di depannya. Dan ia adalah satu di antaranya.

Saat malam, sebelum tidur, kulihat ia sering tersenyum dalam rebahnya. Ia menatap langit-langit kamar, memeluk buku hariannya yang habis ia tulisi banyak kalimat.

Ia bangun dengan semangat esok paginya. Melangkah dengan ringan dan duduk di meja makan untuk sarapan. Kedua orangtuanya tahu ada perubahan yang terjadi pada putri mereka. Ibunya, sambil meletakkan telur di atas roti panggang miliknya bertanya, "Anak Mama sekarang lebih ceria."

Ia hanya tersenyum sambil menikmati sarapannya. Ayahnya tak mau ketinggalan untuk mencari tahu. "Ada cowok keren di sekolah?"

"Cowok keren?" Ia menunjukkan ekspresi wajah yang berpikir. "Cowok keren sih banyak. Di jalan juga banyak."

"Kalau yang keren dan bikin anak Mama tertarik ada?" Ibunya memberi pertanyaan jebakan.

Ia tak menjawab. Ia menghindar untuk menjawab.

Ibunya mengetuk-ngetukkan meja di hadapannya. "Coba cerita ke Mama."

Ia menggeleng. "I'll tell you then."

"We're ready anytime you need to." Ayahnya menyahut.

Ia hanya mengangguk dan melanjutkan sarapannnya.

Hari itu setiba di sekolah, tak ada rencana yang ingin ia lakukan kecuali pergi ke kelasnya. Namun tampaknya ini cara Tuhan untuk memainkan perasaannya. Ketika ia membuka pintu kelas, di saat yang bersamaan sosok lelaki itu muncul dari dalam kelasnya.

Ia dan dua temannya membawa kotak sumbangan. Mereka bertemu pandang. Berhadap-hadapan. Namun tak saling menyapa.

Ia berusaha menghindari tatapan lelaki itu. Ia berlalu cepat-cepat ke tempat duduknya. Terdiam selama beberapa saat. Lalu mengeluarkan buku hariannya, menulis dengan segera apa yang ada di kepalanya dan yang tengah ia rasakan di hatinya.

God, I just saw an angel.

In him...

Begitu yang ia tulis.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang