Chapter 2

156 26 1
                                    

Tentu ia tak mengenalku.

Ia tak tahu siapa aku dan kenapa tiba-tiba aku berada di sini. Ia mungkin pernah melihatku atas keinginanku sendiri. Atau karena izin Tuhan yang diberikan-Nya kepadaku. Sebab Tuhan memerintahkan kami tak menunjukkan wujud tanpa seizin-Nya. Kami berbeda, kami tak diberikan hasrat, kami tak juga dititipkan apa maknanya untuk berinteraksi dengan manusia. Sehingga keinginan itu nyaris tak ada.

Namun mata kecil itu mampu menangkap sesuatu yang tak dilihat orang dewasa. Ia menghampiriku yang berjarak beberapa meter darinya.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Aku Gasparo," jawabku.

"Gasparo? Namamu aneh." Ia berkata jujur. Kuyakini ia begitu. Sebab, aku tak tahu bagaimana manusia memikirkan maksud dalam kepalanya.

"Aku panggil kamu Aro." Ia melanjutkan. "Gasparo itu susah," tambahnya polos. "Seperti Choco. Lebih bagus dari Chocolate kan?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk. "Itu bagus," jawabku.

Ia memicingkan mata, tampak bingung. Ia maju beberapa langkah. Merapat lebih dekat kepadaku. Lalu menjulurkan tangan mengajak berjabat.

"Aku Kalita."

Aku membalas uluran tangan itu.

"Tanganmu dingin," komentarnya. "Kenapa? Kan sekarang enggak hujan."

"Aku tidak tahu." Itu jawabku.

"Mungkin kamu sedang sakit. Mamaku bilang orang sakit tangannya dingin."

Baru kali pertama aku tahu ada hal seperti itu. Ternyata manusia bisa dinilai sehat atau tidak dari suhu pada lapisan tangannya. Itu adalah sesuatu yang baru dan menarik bagiku.

"Rumahmu di mana?" tanyanya lagi kemudian.

"Aku berada di mana pun."

Matanya memicing lagi. "Kamu gelandangan?"

"Gelandangan?" Aku tak paham.

"Orang yang enggak punya rumah."

"Ya. Aku gelandangan." Bisa jadi memang itu maksudnya.

Ada suara berdecak yang ditimbulkan dari mulutnya. Ia lalu berkomentar bahwa hidupku kasihan sekali. Ia berusaha menjelaskan maksud kata-katanya. Ia ingin membuatku mengerti maksud ucapannya. Namun ia mengatakan lagi kemudian, kalau gelandangan seharusnya bertubuh kotor dengan pakaian yang kumal.

"Bajumu bersih sekali." Ia tampak setengah yakin dengan dugaannya sendiri di awal. Lalu ia berkacak pinggang dan mengatakan kalau kami sudah berteman sekarang.

Ia mengibas-ngibaskan tangannya, mengajakku pergi mengikutinya. Tentu tanpa diminta, ia akan selalu berada dalam pengawasanku. Ia menunjuk satu taman yang berisi kolam-kolam ikan serta tanaman bunga yang tumbuh dalam barisan.

"Aku mau main ke sana," ujarnya setengah berlari.

Kuikuti sosoknya hingga ke tempat itu. Sejenak ia berjongkok di tepi kolam, melihat ke dalam air yang jernih dengan segerombolan ikan yang berenang dengan gesit. Lalu ia beralih pada deretan bunga-bunga dan memetiknya satu tangkai.

Ia menoleh ke arahku. Seringai senyumnya semakin kukenali. Ada ciri khas yang begitu jelas di sana. Barisan gigi-gigi tersembunyi di balik bibirnya yang melengkung lebar. Matanya sedikit menyipit, dengan kantung mata kecil di bawahnya.

Saat itu, ia hendak berlari untuk memberikan bunga tersebut kepadaku. Namun kudengar suara seseorang yang memanggil namanya. Itu adalah suara ayahnya. Saat pria itu hadir di balik punggungku, ia hanya menoleh ke kiri dan kanan. Mencari sosok yang sejak tadi ada bersamanya.

"Kamu lagi ngapain di situ?" tanya ayahnya yang tengah berjalan menghampirinya.

"Aku lagi main sama teman."

Pandangannya yang berputar ke berbagai penjuru, teralihkan oleh kehadiran sang ayah.

* * *

Aku tak pernah bertanya kepada Tuhan.

Tak ada hasrat tentang hal itu. Tak ada pertanyaan tentang segala sesuatu yang telah diputuskan Tuhan untuk terjadi dalam hidup. Segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Segalanya terjadi seperti apa yang dikehendaki-Nya.

Tuhan hanya mengatakan bahwa sesekali dalam hidup manusia. Selagi anak itu belum akil baligh, ia akan punya kesempatan untuk melihat sesuatu yang gaib. Semua terjadi atas izin-Nya. Semua diatur oleh-Nya. Karena Tuhan mampu melakukan segalanya. Yang menjadikan ada dari tak ada, yang mengubah tak mungkin menjadi mungkin.

Keberadaanku saat itu adalah satu dari sekian kehendak-Nya. Kalita bisa jadi menandai wajah yang dilihatnya, atau bisa saja ia akan benar-benar lupa sama sekali. Namun di lubuk hatinya ia menelisik, bahwa aku tak seperti orang-orang yang pernah ditemuinya.

Saat sekali waktu ia melihatku kembali. Ketika ia berusaha memanjat pohon yang dijadikan penaung ayunan buatan ayahnya. Ia nekat menjejakkan kaki pada bagian batang pohon yang menonjol. Lalu menopangkan seluruh berat tubuhnya pada kedua lengannya yang menggapai sisi lain pohon tersebut.

Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Bukankah manusia memiliki sejuta misteri dalam kepalanya. Mereka memikirkan banyak hal, mengira-ngira, juga menganalisa. Kadang mereka membuat ide aneh dan tak terduga. Kalau ia berusaha untuk berada di salah satu dahan pohon itu, pastilah ada sebab yang hanya ia mengerti kenapa.

Jangan tanya apa yang akan terjadi nanti sebab aku tak tahu. Aku tak bisa menebak, tapi aku selalu bersiap untuk segala kemungkinan itu. Lengannya yang tak kokoh, serta genggaman tangannya yang licin oleh keringat membuat ia terpeleset dari dahan yang didaki. Ia akan terjerembab dengan mudah. Dan bisa saja aku gagal menolongnya.

Akan tetapi, yang terjadi tidaklah demikian. Ia jatuh tepat di atas kedua lenganku. Matanya terpejam karena refleks takut. Mungkin ia mengira dirinya sudah rebah di tanah, padahal tidak. Saat ia membuka mata perlahan, ia melihat dirinya telah duduk bersandar di batang pohon tersebut.

Kejadian yang dianggapnya ganjil, namun Tuhan mengizinkannya terjadi. Aku berdiri tepat beberapa langkah di sampingnya. Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. Kukira, ia melihatku lagi saat itu. Namun ternyata, ibunya berdiri di ambang pintu, berada persis di belakangku.

"Kamu teriak kenapa?" tanya ibunya.

"Enggak ada apa-apa." Ia menggeleng, takut ketahuan baru saja memanjat pohon dan terjatuh. Lalu ia melangkah masuk ke dalam rumah, dan aku mengekorinya.

Ia pergi ke kamar dan terdiam untuk jeda waktu yang panjang. Ia tampak memikirkan apa yang terjadi padanya barusan, tetapi gagal untuk memahami kenapa dirinya tak terluka setelah jatuh dari ketinggian tersebut.

Mungkin ada sebuah kekuatan yang telah menolongnya. Ia bisa saja berpikir sesederhana itu. Sambil berlalu ke satu sudut kamar. Mengambil buku hariannya dan menggambarkan sesuatu.

* * *

Aku bukanlah manusia.

Tak penting bagiku untuk mengenal eksistensi. Tak perlu juga aku diakui sebagai sosok yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan hari itu. Sebab segala tugasku, mestinya dilakukan dengan tuntas dan sebaik-baiknya.

Namun pikiran manusia adalah sebuah misteri. Ada jutaan memori yang bisa disimpan dan dihadirkannya di sana. Sebab Tuhan memberikan akal dan juga menaruh hati untuk merasa. Saat kedua hal itu bekerja―hati dan pikiran, menghadirkan berbagai hal tentang kemungkinan-kemungkinan.

Hari itu, di buku hariannya ada sebuah gambar yang tertinggal.

Sesuatu yang ia goreskan dalam perenungan.

Setelah jeda hening yang panjang.

Ia menggambar sepasang sayap.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang