Chapter 20

33 6 2
                                    

"Kau mendengarnya selama ini?" tanyaku.

Setengah melayang, Abner berpindah ke sekumpulan bunga-bunga dandelion yang tumbuh liar. Ia meniup bunga itu perlahan hingga biji-bijinya yang tampak bersayap berterbangan mengikuti arah angin. Membantu bunga-bunga itu tumbuh berkembang biat di tempat lain.

"Aku bisa mendengar doa-doa mereka."

"Kenapa kau memberi tahuku?"

Abner terdiam sejenak. Jemarinya menyapu dandelion-dandelion itu. Mereka bergoyang-goyang dan biji-biji yang ringan tersebut kembali terlepas dan berterbangan.

"Aku tahu kita tak punya kehendak, Gasparo. Aku sudah bilang padamu kalau kau melangkah terlalu jauh. Namun, kau tak kunjung berhenti. Dan aku mendengar apa yang dikatakan gadis itu."

"Jadi, apa kau setuju denganku sekarang?"

Abner menggeleng. "Aku tak berada di titik manapun. Paham atau tak sepaham. Kau tahu, di sepanjang hidupku, tugasku adalah mengawasi banyak malaikat yang Tuhan turunkan ke bumi. Aku juga mendengar semua senandung makhluk di bumi ini. Aku mendengar doa-doa yang diucapkan manusia. Aku mendengar suara-suara para tumbuhan dan binatang. Aku mengetahui itu semua.

Dan ketika aku mengawasimu. Aku menemukan sesuatu yang berbeda di antara malaikat-malaikat lainnya. Yang tidak pernah kutemukan sebelumnya."

"Apa yang kau temukan itu?"

"Hati."

Aku terdiam. Aku mengamati Abner dan menelisik apa yang dikatakannya. Apakah ia mengatakan itu sungguh dari apa yang dilihatnya?

"Semua yang ada di dunia ini adalah misteri, Gasparo. Kita tak pernah tahu bagaimana Dia menciptakan kita semua. Dan apa yang ditaruh-Nya pada masing-masing dari kita. Bahkan aku tak tahu apa yang dititipkannya padamu. Apa yang membuat kita semua berbeda."

"Kau berpikir yang aku lakukan selama ini adalah salah?"

Abner menggeleng kembali. "Benar dan salah bukanlah kewenanganku. Dia lebih tahu. Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat. Dan aku tak tahu kini, apakah ini cara Tuhan memilihkan hidup untukmu."

"Lalu, aku harus apa, Abner?"

Abner mengepakkan sayap. Dandelion bergoyangan tertiup kepakan sayapnya. Tubuhnya terangkat perlahan. Ia melihat ke arahku, untuk kali pertama Abner tak menjawab pertanyaanku dengan kata-kata.

Sebagai gantinya, ia menjawab dengan satu senyuman.

Membuatku semakin memikirkan, apa arti ini semua.

* * *

Kalita menatap bayangan dirinya di cermin. Ia menyisir rambutnya sambil tetap terpaku pada sosok dirinya di sana. Pelembab bibir dan perona pipi ia goreskan di wajahnya. Ia mematut dirinya dalam kaus putih dan celana jeans panjang.

Aku ikut melihat wajahnya di cermin. Tak ada refleksi diriku di sana. Aku tak perlu terkejut. Ia diam sejenak. Masih terus memandangi wajahnya sendiri. Lalu menyentuh cermin itu perlahan-lahan. Bukan pada sisi wajahnya, namun titik kosong persis di sampingnya.

Jika saja, ada pantulan wajahku di situ. Namun, itu semua jelas tak akan terjadi.

Tanpa berpindah dari hadapan cermin, diambilnya buku harian yang sejak kemarin terus setia menemaninya. Ia membuka-buka lagi setiap lembarnya. Duduknya yang semula sedikit bungkuk, kini menjadi tegak seperti telah menemukan sesuatu yang menyadarkannya.

Ia kembali terdiam. Matanya membulat. Aku tahu ia tengah berpikir. Lalu, ia bergegas meninggalkan cermin. Menyambar ransel di atas meja. Setengah berlari turun menuju ruang makan.

Beberapa kantong makanan dan minuman dingin kesukaannya ia ambil dari dalam lemari pendingin. Kedua orangtuanya yang sedang duduk-duduk di ruang tamu memandang heran ketika ia muncul sudah lengkap dengan pakaian rapid an bersepatu.

"Hei, mau ke mana? Kok buru-buru sekali?" tanya sang ibu.

"Aku mau ke taman," jawabnya, sambil menjatuhkan kecupan di pipi.

"Perlu Papa antar?"

"Enggak usah, Pa. Aku naik kereta saja." Ia menarik tali tasnya, meyakinkan sang ayah kalau ia sudah cukup dewasa untuk melakukan semuanya sendiri.

"Okay, hati-hati. Dan, kabarin Papa sama Mama kalau kamu pulang terlambat."

Kalita mengacungkan ibu jarinya. Dan segera pergi ke luar rumah.

* * *

Taman yang ia maksud, bukanlah taman yang berada beberapa ratus meter dari rumahnya, melainkan puluhan kilometer di pinggir Ibukota. Taman tersebut dikunjungi orang-orang yang ingin melepas penat dari aktivitas keseharian.

Dengan ransel di bahu kiri. Ia berjalan kaki sendirian di tengah jalanan beraspal yang melintasi taman-taman ini. Mereka-reka ingatannya, menoleh ke kiri dan kanan, berusaha mencari tahu di titik mana dia akan berhenti.

Sekumpulan tanaman pakis yang sudah berumur tampak dari kejauhan. Ia menghentikan langkahnya sejenak. Diam untuk mereka-reka. Telunjuknya menempel di bibir, seperti tengah meyakinkan diri sendiri. Lalu ia berjalan perlahan ke arah tersebut.

Di hadapan tanaman pakis yang menyerupai dinding itu ia berdiri. Tas yang disandang di bahunya dilepaskan hingga terjatuh. Ia memejamkan mata. Selama sekian jenak, mata itu terus terpejam. Ia bicara dalam suara yang begitu lembut hingga nyaris tak terdengar.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling yang tampak sepi. Kolam ikan berada belasan meter di belakangnya. Suara gemercik air dan gemersik daun-daun yang tertiup angin. Semua yang ada di sini tiba-tiba berubah menjadi lebih redup.

Seperti rekaman yang diputar ulang. Aku melihat semuanya.

Apakah ini? Kabut-kabut tipis menyelimuti sekujur taman. Ini bukan karena kondisi alam. Ini seperti... mimpi yang dihadirkan dari dalam kenangan seseorang.

Apakah ia yang melakukannya? Atau Abner? Atau ini cara Tuhan menghadirkan sebuah keajaiban?

Aku melihat kedua orangtuanya tengah duduk-duduk sambil menikmati kudapan. Aku mendengar suara musik diputar dari radio baterai milik sang ayah. Lalu seorang bocah berjalan sendirian dengan boneka kelinci cokelat dalam pelukannya. Boneka kelinci yang ia namai Choco.

Langkah kakinya yang kecil dan tampak polos. Ia mendekati tanaman-tanaman pakis ini. Di sinilah pertama kali kami bertemu dulu. Di sinilah kontak pertama itu terjadi. Di sinilah ketika ia bertanya siapa namaku dan mengajakku berjabat tangan.

Kami mengobrol untuk kali pertama. Ia yang mengira aku seorang gelandangan. Dan aku yang tak terlalu paham maksud yang ia sampaikan.

Suara panggilan ayahnya membuat ia mesti berlari kembali kepada sang ayah. Ia berlari menembus kabut-kabut tipis itu. Mereka kembali bersenda gurau menikmati momen piknik ini. Suara radio baterai masih mengisi suasana di sini.

Namun kabut tipis di sekeliling taman ini perlahan lenyap. Segalanya tampak terang benderang sekarang. Segalanya kembali menjadi normal seperti sedia kala.

Yang ada hanya dirinya yang tetap berdiri di hadapanku. Ia membuka mata perlahan-lahan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Lalu senyumnya mengembang, menatap ke arahku.

Menatap ke arahku?

"Hai," sapanya.

* * *

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang