Chapter 19

20 5 0
                                    

Maria menyebutnya terjebak dalam halusinasi. Namun ia tak peduli.

Ia menyandang ransel kecil di tasnya. Memasukkan botol air minum. Penganan ringan dan permen serta sehelai kaus tipis. Tak ketinggalan, buku harian tersebut turut serta di dalamnya.

Akhir pekan ini, ia ikuti langkah kakinya. Memesan taksi dan pergi mengunjungi rumah indekos yang didatanginya beberapa hari lalu. Bukan. Bukan untuk menemui Theo. Namun ia menemui pemilik indekos dan berbincang dengannya selama beberapa saat.

"Enggak ada, Neng. Kalau ada ya penghuni di sini sih kenal semua. Tapi yang disebutin kayaknya enggak ada."

"Mungkin ciri-cirinya kurang jelas, Bu?"

Lelaki tambun itu tampak menimbang-nimbang. Berusaha mengingat setiap penghuni indekos yang jumlahnya tak lebih dari dua puluh orang.

"Kalau yang putih memang ada. Tapi yang satu rambutnya dicat pirang. Yang satu lagi enggak tinggi. Ada lagi yang putih, tapi berewokan. Nah, kalau yang satunya memang tinggi. Tapi matanya sipit. Kayak orang chinesse gitu. Enggak ada yang putih bersih, tinggi, rambutnya ikal, matanya bulat."

Ia yang semula meragukan ingatan si bapak, kini raut mukanya tampak seperti meragukan diri sendiri. Si pemilik indekos bahkan mengulangi ciri-ciri yang ia sebutkan dengan lengkap dan jelas.

"Ya sudah Pak. Makasih ya." Ia memilih meninggalkan tempat ini dan menuju pemberhentian berikutnya.

Dimana lagi ia akan mencari, jika bukan di kantor tempat Theo bekerja? Ia hadir bukan sebagai tamu. Akting pura-puranya sebagai sepupu Theo kembali dilanjutkan.

"Mau langsung ketemu Mas Theo atau gimana, Mbak?" tanya si petugas keamanan.

"Enggak apa-apa, Pak. Saya tunggu di sini aja. Oh ya, Pak. Boleh nanya sesuatu?"

Dan ia pun menanyakan hal yang kurang lebih sama seperti yang ditanyakannya kepada bapak pemilik indekos. Tentang sosok lelaki itu. Ciri-ciri yang mampu ia gambarkan sebisanya.

"Kalau yang ciri-cirinya begitu sih banyak, Mbak. Maksudnya, ada beberapa orang."

"Yang jadi teman dekatnya Theo ada Pak?"

Petugas keamanan itu berpikir sejenak. Sebelum ia melanjutkan jawabannya, ia malah menatap curiga kepada Kalita.

"Sebenarnya, Mbak ada keperluan apa? Karena saya enggak boleh kasih informasi tentang karyawan di sini."

"Enggak apa-apa, Pak." Ia tersenyum, berusaha memanipulasi keadaan. "Ada temannya Theo yang nyebelin. Theo sering curhat sama saya. Tapi dia enggak pernah kasih tahu orangnya yang mana."

"Namanya?"

"Nah, justru namanya itu saya juga lupa."

Petugas keamanan berhenti sejenak. Bola matanya bergerak ke kiri dan kanan, layaknya orang yang tengah berpikir.

"Saya telepon ekstensinya Mas Theo aja ya. Mbak ngomong sendiri langsung," ujar si petugas keamanan. Rupanya ia cerdik mengatasi masalah ini. Karena Kalita memilih untuk langsung angkat kaki dari tempat ini.

"Enggak usah, Pak. Ini Theo sudah balas WhatsApp saya." Ia menyeringai. Berusaha sebisa mungkin agar kisah rekaannya tak ketahuan.

Dengan berpura-pura ingin membeli minuman dulu, ia bergegas dari tempat ini. Ia berjalan cepat-cepat sebelum si petugas keamanan memanggilnya. Ketika jaraknya sudah cukup jauh dan aman. Barulah ia bisa menghela napas lega.

"Gila sih, susah banget ya nyari orang ini," gerutunya pada diri sendiri.

Namun ia tak tahu, bahwa yang dicari hanya berjarak beberapa langkah saja dari dirinya. Ya, aku di sini. Mengikutinya. Namun ia tak tahu.

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang