Chapter 22

25 4 0
                                    

Kelopak bunga jatuh sehelai.

Ia memungut dan memandangnya sejenak. Mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah siluet matahari pagi. Menutupi sekujur cahaya yang datang ke arahnya. Namun tak bisa menghalau silau yang membuat matanya menyipit.

Ketika ia menurunkan kelopak tersebut, membebaskan pandangannya dari sinar matahari. Ia terkejut mendapati sesuatu yang ada di hadapannya. Helai kelopak itu jatuh ke tanah dan ia melangkah menghampiri.

"How could you?" tanyanya. Ia mengoreksi cepat-cepat. "Dari mana kamu datang?" Padahal, tanpa ia mengoreksi, aku mengerti apa yang ia tanyakan. Aku mengerti berbagai bahasa yang manusia gunakan. Itu kemampuan yang kami miliki sejak kami diciptakan.

"Aku tidak kemana-mana."

Ia tertawa kecil. "Aku tahu. Tapi, bagaimana kamu bisa tiba-tiba muncul dan hilang?"

Aku diam. Belum sempat menjawab. Ia menyerobot cepat. Merasa pertanyaannya tak perlu dijawab.

"Aku tak perlu mempertanyakan itu. Aku tahu kamu adalah keajaiban. Dan... ya... kamu bisa melakukannya kapanpun kamu." Ekspresi wajahnya ketika mengatakan itu. Ada kegembiraan, dan rasa kikuk dan bahagia yang meluap-luap. Semua bercampur menjadi satu.

"Kamu mau masuk? Aku kenalkan dengan kedua orangtuaku."

"Aku..."

"―ah ya, benar, kamu kan sudah kenal mereka dari dulu ya." Lagi-lagi ia menyerobot. "Kubilang kamu temanku, agar orangtuaku tidak bingung."

Namun belum sempat ia mengajakku masuk. Kedua orangtuanya sudah keluar dari dalam, mengenakan jaket dan tampak tergesa-gesa.

"Mama dan Papa harus nengokin Eyang. Om Adi barusan kabarin kalau Eyang masuk Rumah Sakit." Mamanya langsung memberi tahu.

"Hai, Anda?" Ayahnya sempat menyapaku.

"Dia teman aku. Teman kantor yang baru." Ia menjawab cepat. Membuat skenario mendadak.

"Kamu mau ikut atau nyusul?" Ibunya langsung bertanya. Mungkin tak enak karena anaknya kedatangan tamu mendadak pagi-pagi."

"Aku nyusul segera," jawabnya.

"Kabarin Papa ya. Kita berangkat duluan." Ayahnya mengusap punggungnya, lalu mengecup keningnya dan dengan isyarat anggukan, memberi sapaan pamit kepadaku.

Kedua orang tersebut langsung beranjak pergi. Meninggalkan aku dan dirinya berdua. Ia langsung menatap kepadaku memohon agar tak marah jika ia harus mengatakan ini.

"Aku harus ke sana. Maaf, bukannya aku enggak mau nemuin kamu." Ia setengah berlari hendak masuk ke rumah. Namun langkahnya terhenti.

"Aku enggak perlu minta maaf seharusnya. Kamu selalu ada bersamaku, kan?"

Aku mengangguk. Ia tampak berpikir sejenak. "Can you do a magic?" tanyanya kembali.

* * *

Lorong-lorong putih itu tampak kontras dengan suasana yang ada di sekitarnya.

Orang-orang yang bergegas, petugas Rumah Sakit dalam seragam berwarna hijau, para dokter yang mondar-mandir karena urusan di ruangan ini dan ruangan itu.

Ia hanya bisa menunggu dari balik pintu dengan jendela yang begitu kecil di bagian tengah. Beberapa orang anggota keluarganya juga sudah berada di sana. Sama halnya dengan dirinya, mereka pun berdiam dalam penantian.

Ayah-ibunya muncul tak lama setelah itu. Menyusuri koridor yang panjang, dan keheranan begitu mendapati dirinya sudah tiba di sini lebih dulu.

"Lho, kamu kok cepat sekali?" tanya sang Ibu.

"Naik buraq mungkin," canda ayahnya, mencoba mencairkan suasana. Namun sang Ibu yang sedang khawatir tidak menanggapi candaan tersebut dengan positif.

"Gimana, Di? Udah ada kabar?" tanyanya pada sang adik.

"Masih nunggu. Tadi kondisinya sedang kritis."

Aku yang berada di antara mereka mengintip masuk ke dalam ruangan tersebut. Berbagai alat dan bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh alat tersebut membuat ruangan ini menjadi sangat tidak nyaman bagi orang sehat.

Aku mendekati seorang perempuan tua yang seluruh rambutnya sudah memutih. Tubuhnya dipasangi berbagai alat, dan seorang malaikat berdiri persis di sebelahnya.

"Keluarganya mencemaskan dirinya," ujarku.

Seorang malaikat lainnya muncul. Penjaga salah seorang anggota keluarga yang juga menungguinya. "Bagaimana keadaannya?" tanya malaikat tersebut.

"Tuhan berkata, hari ini adalah hari terakhirnya," jawab si malaikat penjaga.

Kami hanya saling bertatapan. Tak ada yang bisa kami lakukan, dan tak ada tindakan pencegahan juga. Bukankah semua sudah tertulis sebagaimana mestinya?

Malaikat penjaga Eyang mengusapkan tangannya pada rambutnya yang putih itu. Ia tersenyum. Bola mata Eyang tiba-tiba terbuka. Memandang sang malaikat dan membalas dengan seulas senyum lainnya.

"Keluargamu akan masuk untuk menemuimu," ujarnya.

Perempuan tua itu mengangguk. Tampak hendak mengucapkan terima kasih namun ia tak mampu. Dokter dan perawat yang menjaga, memantau kondisi dari alat penyokong kehidupan tersebut. Mereka melihat perkembangan yang baik. Sang dokter kemudian bicara kepada perawatnya agar memberikan izin besuk secara bergantian.

Ia masuk setelah menunggu giliran dengan kerabatnya. Hanya beberapa saat di sana, lalu keluar kembali untuk memberikan kesempatan kepada yang lainnya.

Waktu terus beranjak dan perempuan sepuh yang tadi kondisinya sudah stabil itu mendadak kembali kritis. Kalita yang melihat dokter dan perawat berlarian tahu bahwa yang terjadi di dalam sana tidak baik-baik saja.

Ia meremas-remas jemarinya karena cemas. Lalu pergi duduk, bangkit berdiri, berjalan di koridor, dan terus berulang seperti itu.

"Semua akan berjalan sebagaimana mestinya," bisikku ke dalam hatinya. Dan bola matanya memerah dengan selapis air bening yang menetes jatuh.

Lelaki berlapis pakaian hijau dan seorang perawat keluar dari dalam ruangan. Menemui kerabat yang menunggu di depan. Ia tahu, kabar apa yang dibawa oleh para petugas medis itu.

* * *

Gerimis jatuh satu demi satu ketika ia hadir di pemakaman.

Matanya terselubung kaca mata hitam. Ayahnya mengusap-usap punggung ia dan ibunya bergantian. Upacara pemakaman telah selesai. Mereka berjalan meninggalkan pusara. Menuju mobil yang terparkir di tepi jalan.

"Tugasnya sudah selesai."

Aku menoleh ke arah malaikat yang disebutkan Abner. Malaikat yang kutemui di Rumah Sakit kemarin. Ia berjalan di antara orang-orang yang mengantar Eyang ke peristirahatan terakhirnya. Malaikat itu melihat ke arah kami. Rentangan sayapnya membawa ia terbang. Kembali ke langit. Menunggu sampai tugas berikutnya diberikan kepadanya.

"Apa ia mengingat perjalanan yang dilaluinya bersama perempuan itu?" tanyaku pada Abner. Tentang malaikat yang baru saja terbang pergi.

"Untuk apa? Setelah tugas lama selesai, akan datang tugas yang baru. Akan ada satu anak manusia lagi yang mesti dijaganya. Eyang bukanlah yang pertama. Entah sudah menjadi tugas yang ke-berapa." jawab Abner.

"Bagaimana jika tugas tersebut adalah tugas yang terbaik yang pernah dialami?"

Abner menadahkan telapak tangannya pada bulir hujan yang jatuh. Satu tetes menggenang tetapi tidak sampai bisa membasahi tangannya. Ia memainkan tetesan air tersebut, lalu menjatuhkannya ke tanah. Kembali kepada ia harus bermula.

"Kau bicara tentang memori. Kau bicara tentang dirimu sendiri rupanya."

"Jika ia pergi nanti. Kembali pada Tuhan. Apa aku bisa melupakan semua yang terjadi?"

"Kau mulai merasa khawatir sekarang?"

"Jika ini adalah yang terbaik. Maka aku tak tahu apakah bisa menemukan memori yang sama lagi seperti saat bersamanya?"

* * *


Hewan gaib, oleh umat Islam dipercayai sebagai tunggangan Nabi Muhammad SAW ketika melakukan perjalanan Isra' Mi'raj

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang